Sabtu, 02 Maret 2013

Blog Ku: Mulanya...

Blog Ku: Mulanya...: Dulu....tepatnya 12 tahun yang lalu saat masih duduk di bangku SMP, aku sangat terobsesi pada profesi PENGACARA. Entah mengapa...membayangka...

Minggu, 11 Desember 2011

Allah Ta’ala berfirman dalam sebagian kitabNya

Allah Ta’ala berfirman dalam sebagian kitabNya: “Qalbu-qalbu itu di TanganKu, Cinta ada di Rahasia perbendaharanKu. Kalau bukan karena CintaKu pada hambaKu, pastilah hambaKu tak mampu mencintaiKu. Dan kalaulah bukan karena DzikirKu di zaman azali kepada hambaKu, ia tak bakal mampu berdzikir kepadaKu. Kalaulah bukan karena kehendakKu padanya di zaman Qadim dahulu, hambaKu tak akan bisa berkehendak padaKu.”

Cuplikan dari buku: Menjelang Ma'rifat - Syeikh Ahmad ar-Rifa'y

ALLAH "TINGGAL" BERSAMA ORANG-ORANG LEMAH DAN TERTINDAS

Ada sebuah cerita yang sangat menarik. Ada seorang sufi yang setiap kali bersedekah ia selalu mencium tangannya. Muridnya terheran-heran dan bertanya, “Guru, kenapa setiap kali memberi sedekah engkau selalu mencium tanganmu?” Jawab guru, “Setiap kali memberi sedekah, sebelum uang kita sampai kepada si penerima, yang pertama kali menerimanya sebenarnya adalah Allah swt. Saat itulah aku cium tanganku, karena tanganku bersentuhan dengan “tangan” Allah. Keindahan apa lagi yang lebih indah dari itu?”
Barangkali kita masih tertanya-tanya, benarkah kalau kita bersedekah tangan kita akan bersentuhan dengan “tangan”-Nya. Entah kita harus menafsirkan bagaimana, tapi pernyataan sufi itu ternyata merupakan terjemahan langsung dari sebuah hadis qudsi, bahwa Allah memang bersama orang-orang lemah dan tertindas.

Kita simak bunyi hadis qudsinya: Kelak dihari kiamat Allah berkata: “Hai anak Adam, kenapa waktu Aku sakit engkau tidak menjenguk-Ku? Orang itu menjawab: “Wahai Tuhan, bagaimana aku menjenguk-Mu padahal Engkau Tuhan semesta alam. Allah menjawab: “Tahukah engkau waktu fulan sakit engkau tidak menjenguknya ? Tidak tahukah engkau sekiranya waktu itu engkau menjenguknya niscaya engkau akan menemukan-Ku. Wahai manusia, kenapa engkau tidak memberi-Ku makan?” “Bagaimana mungkin aku memberi-Mu makan padahal Engkau Tuhan semesta alam?” jawabanny, kata Tuhan, “Waktu itu ada seorang hamba-Ku yang meminta makan kepadamu, tapi engkau tidak memberinya. Tahukah engkau sekiranya engkau memberi makan kepadanya, niscaya engkau menemukan Aku disana. Wahai manusia, engkau meminta minum kepada-Ku tapi engkau tidak memberi minum kepada-Ku.” “Wahai Tuhan, bagaimana mungkin aku memberi minum kepada-Mu padahal Engkau adalah Tuhan semesta alam.” “Ada seorang hamba-Ku yang meminta minum kepadamu tapi engkau menolaknya. Tahukah engkau sekiranya engkau memberinya minum niscaya engkau menemukan-Ku disana.”

Apa makna kalimat hadis qudsi diatas ? Luas sekali. Didalam konteks teologi, ia bisa berarti sindiran Tuhan kepada manusia yang tengah lupa. Bahkan Tuhan sendiri merasa perlu untuk merendahkan diri dihadapan manusia yang sedang tinggi hati. Bagaimana mungkin pemilik seluruh alam semesta ini bisa menjadi pihak yang begitu merindui milik-Nya sendiri yang jelas-jelas berada dalam genggaman, yang sekali hentak alam raya ini akan menjelma serupa bulu-bulu yang berterbangan.

Jadi, betapa berbahaya penyakit tinggi hati itu. Karena ia bisa membalik pandangan yakni betapa yang rendah terlihat sebagai tinggi.
Lebih jauh, ungkapan sufi itu juga ternyata adalah ungkapan lain dari AL-quran. Dalam surah AL-Muzammil, Allah memang menyatakan dirinya sebagai wakil kaum papa yang sangat memerlukan uluran tangan kita. Firman Allah:
“dan dirikanlah salat, tunaikan zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik.” (QS AL-Muzammil {73}: 20).
Rangkaian perintah dalam ayat ini (salat, zakat,dan sedekah), menurut Ibn Arabi, menunjukan bahwa amal sosial kita tidak cukup hanya dengan zakat wajib saja, tetapi lebih dari itu sebenarnya “wajib” kita berikan kepada Allah, yakni kepada mereka yang memerlukan (Ibn Arabi, Futuhat AL-Makkiyah, j. 2: Asraruzzakat).
Didepan ayat ini, sangatlah naïf orang yang merasa cukup beramal hanya dengan zakat saja, padahal disana-sini masih banyak bertebaran kaum papa yang serba kekurangan. Di Indonesia karena kemiskinan, ada jutaan keluarga hidup tanpa induk rumah tangga, ada suami tanpa isteri, ada anak-anak tanpa ibu, selama bertahun-tahun.
Tak butuh menjadi psikolog untuk mengerti betapa rapuh kedudukan keluarga semacam itu. Tak butuh seksolog untuk memahami betapa mungkin seorang suami kuat ditinggal istri sekian lama untuk sehat secara hormonal.

Ia akan menjadi suami yang gerah diam-diam. Dan didalam kegerahan itu ia bisa semborono dalam merawat anak-anaknya, bisa uring-uringan setiap kali mengatasi keinginan jiwanya sendiri. Kepada anak-anak akan mudah menjadi kesepian dan akhirnya tumbuh liar sebagai kompensasi. Anak-anak tanpa kehangatan ibu dan bapak ini akan mencari kebahagiaannya sendiri dengan cara apa saja. Dan sesekali saja jiwa manusia itu berjalan ke arah yang keliru, bencana telah menunggu di ujung sana.

Jutaan keluarga di Indonesia terancam menjadi lumpuh dan sulit menjalankan roda organisasinya. Setiap seorang ibu keluar, dalam tempo yang cukup lama, ia akan tengah bersiap meninggalkan keluarganya sebagai organisasi yang cacat. Dan kampung-kampung yang tidak dijaga oleh para wanita sebagai pelindung terbaik keluarga, akan menjadi kampung yang kering dan ganas lalu kehilangan produktifitasnya.
Dengan memperhatikan nash-nash diatas nyatalah bahwa Allah memang “tinggal” bersama mereka, dan sebagai khalifah-Nya kitapun wajib tinggal bersama mereka, memperhatikan nasib bahkan sehidup semati dengan mereka, persis seperti yang telah dilakoni Rasullah saw: “Carilah aku diantara orang-orang yang lemah diantara kalian!” Ya, kalau rasul sebagai sufi yang paling agung itu merupakan penjelmaan (locus/majla) Tuhan, kita memang harus mencari Tuhan diantara mereka.

Terakhir, ada baiknya kita renungkan sebuah doa agar kita diberi kemampuan untuk selalu menyayangi mereka, sebuah doa yang sangat puitis dan indah: Allahummarzuqni rahmata liaitam, wa ith ‘aamaththa’aam, wa isyfaa assalaam, wa suhbatal kiram, bithaulika ya malja’al ‘amilin. Ya Allah, anugerahilah aku dengan kemampuan menyayangi anak-anak yatim, memberi makan fakir miskin, menyebarkan salam, bersahabat dengan orang-orang mulia, dengan anugrah-Mu wahai Zat tempat berlindung orang-orang yang berharap. Wallahu a’lam.

Ada banyak persoalan dengan begitu banyak pengingkaran. Itulah yang membuat kita tidak cuma sakit, tetapi sekaligus kesepian. Jika cuma menderita, kita sebetulnya kuat menghadapinya. Yang tidak kuat ialah ketika kita sedang sakit sekaligus sedang merasa ditinggalkanTuhan ! Dalam hadis qudsi, Allah swt. Berfirman, “Carilah karunia Allah dengan mendekati orang yang dekat dengan orang miskin. Karena pada merekalah Aku jadikan keridhaan-Ku.”

Tuhan tak pernah tidur dan komputernya tetap menyala terus bukan cuma 24 jam melainkan sepanjang masa yang tak kita ketahui berapa milyar tahun lamanya. Dan Dia yang tak pernah tidur itu pula yang diam-diam bersembunyi dibalik singgasana kemiskinan umatnya itu rupa-rupanya Tuhan berpihak pada si miskin.
Kaum Muslimat dan Muslimin yang shaleh dan tulus diundang Tuhan secara khusus untuk lebih mengasah kepekaan jiwa dan meningkatkan kepekaan sosial dan, kalau bisa, diharap bersikap asketik atau zuhud, sikap hidup hemat didunia demi tabungan akherat. Ikut menikmati dunia tapi tak didikte oleh dunia yang ibarat kata cuma sekejap mata karena ada janji alam keabadian atau hidup kekal dibalik dunia fana ini.
Muslimin dan Muslimat yang shaleh, tulus dan zuhud, diketuk hatinya oleh Tuhan untuk menoleh kekiri dan kekanan, kesemua tempat dimana si miskin bermukim. Dan mereka pun diingatkan bahwa dalam kekayaan mereka terdapat hak si miskin yang tak bisa mereka ingkari.

Oleh: Ust Ramli Izhaque

Rabu, 30 November 2011

Asal usul taat dan maksiat


Keluarlah dirimu dari sifat-sifat nafsu kemanusiaan mu, sifat-sifat yang bisa merusak ubudiyah mu, agar panggilan Allah bisa di respon positif dan kedekatan dengan Allah senantiasa hadir.
Sehari-hari kita sering mengucapkan kata-kata seperti "......itukan manusiawi...", atau wajarlah kita sebagai manusia...dsb.
Yang sesungguhnya merupakan ekspresi dari sisi-sisi nafsu kita yang bicara, ketika kita mencari dalih pembenaran atas kesalahan kita.
Sifat-sifat manusiawi yang sering kita jadikan alibi , itulah yang sesungguhnya berkembang secara negatif dalam pertumbuhan spiritual kita. pada saat yang sama jelas menghambat hubungan kita degan Allah swt.
Hikmah di atas sebagai kelanjutan dari masalah hijab, masalah yang menghalangi pandangan mata hati kita kepada Allah. Oleh sebab itu element yang perlu di angkat berikutnya tentu bagaimana seseorang bisa keluar dari hijab dirinya sendiri, yg bersarang pada sifat-sifat manusiawi diatas.
Menurut Syeikh Zaruq, sifat-sifat manusiawi itu terbagi menjadi 2 bagian:
Pertama: Sifat-sifat relevan dengan Ubudiyah, seperti sifat ta'at, menjaga jiwa, maupun sifat yang terpuji.
Kedua: Sifat yang bisa merusak Ubudiyah sperti maksiat, syahwat dan ke alpaan.
Dimaksudkan keluar dari sifat manusiawi adalah sifat yang mendorong seseorang untuk alpa, maksiat dan syahwat. itulah yang merusak (destruktif) terhadap ibadah. sekaligus juga menjauhkan kehadiran Ilahi di hari kita.
Keluarnya "Diri" itu merupakan syarat dari panggilan Ilahi.
Orang yang di penuhi oleh hawa nafsunya tidak akan mendengar panggilan Ilahi dan cenderung melempar jauh-jauh suara Ilahiyah itu. Misalnya panggilanNya: "Wahai orang-orang beriman....Wahai Ummat manusia...Wahai Nabi....Wahai Insan... dsb. Yang senantiasa bergema di telinga hati kita.
Ja'far ash-Shadiq ra, pernah berkata bila kamu mendengar panggilan: "Wahai orang-orang beriman....., maka simaklah, sebab panggilan itu berisi perintah atau larangan". Jawaban atas Ilahi itu terbagi dalam 3 hal:
- Membenarkan
- Mengamalkannya
- Hasratnya hanya untuk Allah dalam mengamalkannya itu.
Sultonul Aulia Syeikh Abul Hasan As-Syadzily, menegaskan, "Apabila Allah memuliakan hambanya dalam gerak dan diamnya maka Allah memberikan bagian Ubudiayahnya hanya untuk Allah dalam pandangan hatinya, sedangkan bagian-bagian gerak hawa nafsunya di tutupi". Allah menjadikan si hamba itu senantiasa keluar masuk, bolak-balik dalam situasi Ubudiyah sementara hasrat hawa nafsunya tertutupi oleh nuansa yang berlangsung dalam takdir yang menyelimuti, bahkan sama sekali tidak berpaling pada nfsu itu.
Sebaliknya apabila Allah merendahkan seorang hamba dalam gerak dan diamnya maka hasrat nafsunya di buka dan hasrat Ubudiyahnya di tutup, lalu hamba itu berputar-putar pada syawat nafsunya, sedangkan Ubudiyahnya seakan-akan lepas dari dirinya. Walaupun kelihatan secara lahiriyah dia beribadah.
Dari sinilah Ibnu Atha'ilah melanjutkan bahwa nafsu itulah sumber segala bencana.
"Asal usul maksiat, syahwat dan kealpaan, adalah kerelaan kita pada nafsu".
Apakah maksiat itu? maksiat adalah tindakan yang meyimpang dari perintah Allah dan menerjang laranganNYA. Sedangkan menuruti hawa nafsu itu berarti menyalurkan kompensasi nafsu untuk mencari kesenangan. Sementara di maksud dengan kealpaan adalah mengabaikan tindakan sunnah dan wajib, begitu juga ketika melakukan kewajiban disertai orientasi hawa nafsu, tergolong kealpaan pula.
Kerelaan terhadap hawa nafsu itu tanda-tandanya ada 3:
- Melihat kebenaran menurut selera dirinya.
- Memanjakan nafsu.
- Memejamkan mata dari aib-aib nafsu itu sendiri. Sehingga jauh dari penyucian jiwa.
Sebaliknya asal-usul ketaatan, mawas diri dan sadar diri adalah ketidakrelaan pada nafsu. Tanda ketidakrelaan kita pada nafsu adalah :
- Curiga pada siasat nafsu.
- Waspada pada bahayanya.
- Dan menekan nafsu dalam berbagai kesempatan.
Abu Hafs Al-Haddad ra, berkata siapa yang tidak curiga pada nafsunya sepanjang waktu, tidak menetangnya dalam semua prilaku, tidak menekannya padahari-harinya, maka orang itu telah terpedaya. Siapa yang memandang nafsu itu denagn pandangan yang indah, maka nafsu itu telah menghancurkan dirinya. Bagaimana orang yang waras akalnya akan rela pada nafsunya.


Oleh: KH. M luqman Hakim MA

Karomah Bukan Derajat Luhur


“Tidak setiap orang yang memiliki keistemewaan itu sempurna kebersihan batin dan keikhlasannya.”
Saat ini publik ummat sering menilai derajat luhur seseorang dari kehebatan-kehebatan ilmu dan karomahnya. Syeikh Abu Yazid al-Bisthamy pernah didatangi muridnya, yang melaporkan karomah dan kehebatan seseorang.
“Dia bisa menyelam di lautan dalam waktu cukup lama…”
“Saya lebih kagum pada paus di lautan…”
“Dia bisa terbang…!” kata muridnya.
“Saya lebih heran, burung kecil terbang seharian…karena kondisinya memang demikian,” jawabnya.
“Lah, dia ini bisa sekejap ke Mekkah…”
“Saya lebih heran pada Iblis sekejap bisa mengelilingi dunia…Namun dilaknat oleh Allah.”
Suatu ketika orang yang diceritakan itu datang ke masjid, tiba-tiba ia meludah ke arah kiblat.
“Bagaimana ia menjaga adab dengan Allah dalam hakikat, sedangkan adab syariatnya saja tidak dijaga..” kata beliau.
Banyak orang yang mendalami ilmu pentetahuan, mampu membaca dan mengenal dalil, kitab-kitab, bahkan memiliki keistemewaan, tetapi banyak pula diantara mereka tidak bersih hatinya, tidak ikhlas dalam ubudiyahnya.
Begitu pula ketika karomah dan tanda-tanda yang hebat itu disodorkan pada Sahl bin Abdullah at-Tustary, ra, beliau balik bertanya, “Apa itu tanda-tanda? Apa itu karomah? Itu semua akan sirna dengan waktunya. Bagiku orang yang diberi pertolongan Allah swt untuk merubah dari perilakunya yang tercela menjadi perilaku yang terpuji, lebih utama dibanding orang yang punya karomah seperti itu.”
Sebagian Sufi mengatakan, “Yang mengagumkan bukannya orang yang memasukkan tangan ke kantong sakunya, lalu menafkahkan apa saja dari kantong itu. Yang mengagumkan adalah orang yang memasukkan tangannya ke kantong sakunya karena merasa ada sesuatu yang disimpan di sana. Begitu ia masukkan tangannya ke sakunya, sesuatu itu tidak ada, namun dirinya tidak berubah (terkejut) sama sekali.”
Jadi karomah itu sesungguhnya hanyalah cara Allah memberikan pelajaran kepada yang diberi karomah agar perjalanan ruhaninya tidak berhenti, sehingga semakin menajak, semakin naik, bukan untuk menunjukkan keistimewaanya.
Yang istimewa adalah Istiqomah. Karena itu para Sufi menegaskan, “Jangan mencari karomah, tetapi carilah Istiqomah.” Sebab istiqomah itu lebih hebat dibanding seribu karomah. Dan memang, hakikat karomah adalah Istiqomah itu sendiri.
Bahkan Imam Al-Junayd
al-Baghdady pernah mengingatkan, betapa banyak para Wali yang terpleset derajatnya hanya karena karomah.
Syeikh Abdul Jalil Mustaqim pernah mengatakan, ketika anda diludahi seseorang dan anda sama sekali tidak marah, itulah karomah, yang lebih hebat dibanding karomah yang lainnya.
Ketika dalam sebuah perkumpulan Thariqat Sufi, tiba-tiba ada seseorang datang, dan langsung membicarakan kehebatan ilmu ini dan itu, karomah si ini dan si itu. Lalu seseorang diantara mereka menegur,
“Mas, kalau di sini, ilmu-ilmu seperti yang anda sampaikan tadi hanya dinilai sampah. Jadi percuma sampean bicara sampah di sini…” kenapa ilmu itu bagaikan sampah ? karena di dalam pengamalanya sama sekali tidak ada LILLAH nya...tidak lebih hanya demi agar bisa ini..bisa itu...
Ada seseorang disebut-sebut sebagai Wali:
“Wah dia itu wali, bisa baca pikiran orang, dan kejadian-kejadian yang pernah kita lakukan walau pun sudah bertahun-tahun lamanya…”
“Lah, orang yang punya khadam Jin juga bisa diberi informasi oleh Jinnya tentang kejadian yang lalu maupun yang akan datang… Jadi hati-hati…”
“Beliau itu keturunan seorang Ulama besar..”
“Tidak ada jaminan nasab itu, nasibnya luhur di hadapan Allah…”
Dan panjang sekali kajian soal karomah dan kewalian ini, yang butuh ratusan halaman. Tetapi kesimpulannya, seseorang jangan sampai mengagumi kehebatan lalu mengklaim bahwa kehebatan itu menunjukkan derajat di depan Allah. Tidak tentu sama sekali.


KH M Lukman Hakiem MA

Selasa, 08 November 2011

Islam & Tasawuf: Kenapa Amalan di Terima ?

Islam & Tasawuf: Kenapa Amalan di Terima ?

Kenapa Amalan di Terima ?


“Kalau bukan karena indahnya tutupnya Allah swt, maka tak satu pun amal diterima.” Kenapa demikian? Sebab nafsu manusia senantiasa kontra dengan kebajikan, oleh sebab itu jika mempekerjakan nafsu, haruslah dikekang dari sifat atau karakter aslinya.

Dalam firmanNya: “Siapa yang yang menjaga nafsunya, maka mereka itulah orang-orang yang menang dan bahagia.”(Al-Hasyr 9)

Nafsu, ketika masuk dalam kinerja amaliah, sedangkan nafsu itu dasarnya adalah cacat, maka yang terproduksi nafsu dalam beramal senantiasa cacat pula. Kalau toh dinilai sempurna, nafsu masih terus meminta imbal balik, dan menginginkan tujuan tertentu, sedangkan amal itu inginnya malah ikhlas. Jadi seandainya sebuah amal diterima semata-mata bukan karena amal ansikh, tetapi karena karunia Allah Ta’ala pada hambaNya, bukan karena amalnya.

Abu Abdullah al-Qurasyi ra mengatakan, “Seandainya Allah menuntu ikhlas, maka semua amal mereka sirna. Bila amal mereka sirna, rasa butuhnya kepada Allah Ta’ala semakin bertambah, lalu mereka pun melakukan pembebasan dari segala hal selain Allah swt, apakah berupa kepentingan mereka atau sesuatu yang diinginkan mereka.”

Oleh sebab itu Ibnu Athaillah melanjutkan:
“Anda lebih butuh belas kasihan Allah swt, ketika anda sedang melakukian taat, dibanding rasa butuh belas kasihNya ketika anda melakukan maksiat.” Kebanyakan manusia memohon belas kasihan kepada Allah Ta’ala justru ketika ia menghadapi maksiat, dan merasa aman ketika bisa melakukan taat ubudiyah. Padahal justru yang lebih dibutuhkan manusia adalah Belas Kasih Allah ketika sedang taat. Karena ketika sedang taat, para hamba sangat rawan “taat nafsu”, akhirnya seseorang terjebak dalam ghurur, atau tipudaya dibalik amaliyahnya sendiri.

Rasulullah saw, bersabda:
“Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada salah seorang Nabi dari para NabiNya: “Katakanlah kepada hamba-hambaKu yang tergolong shiddiqun, jangan sampai mereka tertimpa tipudaya. Sebab Aku, bila menegakkan keadilanKu dan kepastian hukumKu kepada mereka, Aku akan menyiksa mereka, tanpa sedikit pun aku menzalimi mereka. Dan katakanlah kepada hambaKu yang ahli dosa, janganlah mereka berputus asa, sebab tak ada dosa besar bagiKu manakala Aku mengampuninya.”

Bahkan Abu Yazid al-bisthami ra mengatakan: “Taubat dari maksiat bisa sekali selesai, tetapi taubat karena taat bisa seribu kali pertaubatan.”
Mengapa kita harus lebih waspada munculnya dosa dibalik taat? Karena nafsu dibalik maksiat itu jelas arahnya, namun nafsu dibalik taat sangat lembut dan tersembunyi.
Diantara nafsu dibalik taat yang menimbulkan dosa dan hijab antara lain:
1. Mengandalkan amal ibadahnya, lupa kepada Sang Pencipta amal.
2. Bangga atas prestasi amalnya, lupa bahwa yang menggerakkan amal itu bukan dirinya, tetapi Allah swt.
3. Selalu mengungkit ganti rugi, dan banyak tuntutan dibalik amalnya.
4. Mencari keistemewaan amal, hikmah dibalik amal, lupa pada tujuan amalnya.
5. Merasa lebih baik dan lebih hebat dibanding orang yang belum melakukan amaliyah seperti dirinya.
6. Seseorang akan kehilangan kehambaannya, karena merasa paling banyak amalnya.
7. Iblis La’natullah terjebak dalam tipudayanya sendiri, karena merasa paling hebat amal ibadahnya.
8. Menjadi sombong, karena ia berbeda dengan umunya orang.
9. Yang diinginkan adalah karomah-karomah amal.
10. Ketika amalnya diotolak ia merasa amalnya diterima.


KH M Luqman Hakiem MA