Ada sebuah cerita yang sangat menarik. Ada seorang sufi yang setiap
kali bersedekah ia selalu mencium tangannya. Muridnya terheran-heran dan
bertanya, “Guru, kenapa setiap kali memberi sedekah engkau selalu
mencium tanganmu?” Jawab guru, “Setiap kali memberi sedekah, sebelum
uang kita sampai kepada si penerima, yang pertama kali menerimanya
sebenarnya adalah Allah swt. Saat itulah aku cium tanganku, karena
tanganku bersentuhan dengan “tangan” Allah. Keindahan apa lagi yang
lebih indah dari itu?”
Barangkali kita masih tertanya-tanya,
benarkah kalau kita bersedekah tangan kita akan bersentuhan dengan
“tangan”-Nya. Entah kita harus menafsirkan bagaimana, tapi pernyataan
sufi itu ternyata merupakan terjemahan langsung dari sebuah hadis qudsi,
bahwa Allah memang bersama orang-orang lemah dan tertindas.
Kita
simak bunyi hadis qudsinya: Kelak dihari kiamat Allah berkata: “Hai anak
Adam, kenapa waktu Aku sakit engkau tidak menjenguk-Ku? Orang itu
menjawab: “Wahai Tuhan, bagaimana aku menjenguk-Mu padahal Engkau Tuhan
semesta alam. Allah menjawab: “Tahukah engkau waktu fulan sakit engkau
tidak menjenguknya ? Tidak tahukah engkau sekiranya waktu itu engkau
menjenguknya niscaya engkau akan menemukan-Ku. Wahai manusia, kenapa
engkau tidak memberi-Ku makan?” “Bagaimana mungkin aku memberi-Mu makan
padahal Engkau Tuhan semesta alam?” jawabanny, kata Tuhan, “Waktu itu
ada seorang hamba-Ku yang meminta makan kepadamu, tapi engkau tidak
memberinya. Tahukah engkau sekiranya engkau memberi makan kepadanya,
niscaya engkau menemukan Aku disana. Wahai manusia, engkau meminta minum
kepada-Ku tapi engkau tidak memberi minum kepada-Ku.” “Wahai Tuhan,
bagaimana mungkin aku memberi minum kepada-Mu padahal Engkau adalah
Tuhan semesta alam.” “Ada seorang hamba-Ku yang meminta minum kepadamu
tapi engkau menolaknya. Tahukah engkau sekiranya engkau memberinya minum
niscaya engkau menemukan-Ku disana.”
Apa makna kalimat hadis
qudsi diatas ? Luas sekali. Didalam konteks teologi, ia bisa berarti
sindiran Tuhan kepada manusia yang tengah lupa. Bahkan Tuhan sendiri
merasa perlu untuk merendahkan diri dihadapan manusia yang sedang tinggi
hati. Bagaimana mungkin pemilik seluruh alam semesta ini bisa menjadi
pihak yang begitu merindui milik-Nya sendiri yang jelas-jelas berada
dalam genggaman, yang sekali hentak alam raya ini akan menjelma serupa
bulu-bulu yang berterbangan.
Jadi, betapa berbahaya penyakit
tinggi hati itu. Karena ia bisa membalik pandangan yakni betapa yang
rendah terlihat sebagai tinggi.
Lebih jauh, ungkapan sufi itu juga
ternyata adalah ungkapan lain dari AL-quran. Dalam surah AL-Muzammil,
Allah memang menyatakan dirinya sebagai wakil kaum papa yang sangat
memerlukan uluran tangan kita. Firman Allah:
“dan dirikanlah
salat, tunaikan zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah dengan
pinjaman yang baik.” (QS AL-Muzammil {73}: 20).
Rangkaian perintah
dalam ayat ini (salat, zakat,dan sedekah), menurut Ibn Arabi,
menunjukan bahwa amal sosial kita tidak cukup hanya dengan zakat wajib
saja, tetapi lebih dari itu sebenarnya “wajib” kita berikan kepada
Allah, yakni kepada mereka yang memerlukan (Ibn Arabi, Futuhat
AL-Makkiyah, j. 2: Asraruzzakat).
Didepan ayat ini, sangatlah naïf
orang yang merasa cukup beramal hanya dengan zakat saja, padahal
disana-sini masih banyak bertebaran kaum papa yang serba kekurangan. Di
Indonesia karena kemiskinan, ada jutaan keluarga hidup tanpa induk rumah
tangga, ada suami tanpa isteri, ada anak-anak tanpa ibu, selama
bertahun-tahun.
Tak butuh menjadi psikolog untuk mengerti betapa
rapuh kedudukan keluarga semacam itu. Tak butuh seksolog untuk memahami
betapa mungkin seorang suami kuat ditinggal istri sekian lama untuk
sehat secara hormonal.
Ia akan menjadi suami yang gerah diam-diam.
Dan didalam kegerahan itu ia bisa semborono dalam merawat anak-anaknya,
bisa uring-uringan setiap kali mengatasi keinginan jiwanya sendiri.
Kepada anak-anak akan mudah menjadi kesepian dan akhirnya tumbuh liar
sebagai kompensasi. Anak-anak tanpa kehangatan ibu dan bapak ini akan
mencari kebahagiaannya sendiri dengan cara apa saja. Dan sesekali saja
jiwa manusia itu berjalan ke arah yang keliru, bencana telah menunggu di
ujung sana.
Jutaan keluarga di Indonesia terancam menjadi lumpuh
dan sulit menjalankan roda organisasinya. Setiap seorang ibu keluar,
dalam tempo yang cukup lama, ia akan tengah bersiap meninggalkan
keluarganya sebagai organisasi yang cacat. Dan kampung-kampung yang
tidak dijaga oleh para wanita sebagai pelindung terbaik keluarga, akan
menjadi kampung yang kering dan ganas lalu kehilangan produktifitasnya.
Dengan
memperhatikan nash-nash diatas nyatalah bahwa Allah memang “tinggal”
bersama mereka, dan sebagai khalifah-Nya kitapun wajib tinggal bersama
mereka, memperhatikan nasib bahkan sehidup semati dengan mereka, persis
seperti yang telah dilakoni Rasullah saw: “Carilah aku diantara
orang-orang yang lemah diantara kalian!” Ya, kalau rasul sebagai sufi
yang paling agung itu merupakan penjelmaan (locus/majla) Tuhan, kita
memang harus mencari Tuhan diantara mereka.
Terakhir, ada baiknya
kita renungkan sebuah doa agar kita diberi kemampuan untuk selalu
menyayangi mereka, sebuah doa yang sangat puitis dan indah:
Allahummarzuqni rahmata liaitam, wa ith ‘aamaththa’aam, wa isyfaa
assalaam, wa suhbatal kiram, bithaulika ya malja’al ‘amilin. Ya Allah,
anugerahilah aku dengan kemampuan menyayangi anak-anak yatim, memberi
makan fakir miskin, menyebarkan salam, bersahabat dengan orang-orang
mulia, dengan anugrah-Mu wahai Zat tempat berlindung orang-orang yang
berharap. Wallahu a’lam.
Ada banyak persoalan dengan begitu banyak
pengingkaran. Itulah yang membuat kita tidak cuma sakit, tetapi
sekaligus kesepian. Jika cuma menderita, kita sebetulnya kuat
menghadapinya. Yang tidak kuat ialah ketika kita sedang sakit sekaligus
sedang merasa ditinggalkanTuhan ! Dalam hadis qudsi, Allah swt.
Berfirman, “Carilah karunia Allah dengan mendekati orang yang dekat
dengan orang miskin. Karena pada merekalah Aku jadikan keridhaan-Ku.”
Tuhan
tak pernah tidur dan komputernya tetap menyala terus bukan cuma 24 jam
melainkan sepanjang masa yang tak kita ketahui berapa milyar tahun
lamanya. Dan Dia yang tak pernah tidur itu pula yang diam-diam
bersembunyi dibalik singgasana kemiskinan umatnya itu rupa-rupanya Tuhan
berpihak pada si miskin.
Kaum Muslimat dan Muslimin yang shaleh
dan tulus diundang Tuhan secara khusus untuk lebih mengasah kepekaan
jiwa dan meningkatkan kepekaan sosial dan, kalau bisa, diharap bersikap
asketik atau zuhud, sikap hidup hemat didunia demi tabungan akherat.
Ikut menikmati dunia tapi tak didikte oleh dunia yang ibarat kata cuma
sekejap mata karena ada janji alam keabadian atau hidup kekal dibalik
dunia fana ini.
Muslimin dan Muslimat yang shaleh, tulus dan
zuhud, diketuk hatinya oleh Tuhan untuk menoleh kekiri dan kekanan,
kesemua tempat dimana si miskin bermukim. Dan mereka pun diingatkan
bahwa dalam kekayaan mereka terdapat hak si miskin yang tak bisa mereka
ingkari.
Oleh: Ust Ramli Izhaque