Minggu, 30 Oktober 2011

Sajian Istimewa Anti Hijab


Di Ibu Kota Kaum Sufi, tiba-tiba terpampang spanduk-spanduk yang mengiklankan menu-menu restoran para Sufi. Para penempuh mulai tersenyum hatinya, dan saling mendiskusikan, menu mana yang harus mereka kunjungi untuk makan malam. Tiba-tiba para penempuh terjengah ketika memandang spandung kecil, tapi cukup menonjol, agak tersembunyi di celah-celah spanduk besar yang ada. “Nikmati Sajian Istimewa Menu Anti Hijab.”

Para penempuh tiba-tiba hasrat ruhaninya lapar seketika, disertai dahaga yang memuncak. Qalbunya gemetar, nafsunya tunduk patuh di depan tulisan itu. Ketika membaca iklan itu, airmata mereka sudah meleleh. ”Astaghfirullahal ‘Adziim…!” begitu mereka serentak mendesahkan jiwanya.

Di depan gerbang Kafe Sufi antrian panjang sampai ribuan orang. Mereka membeli tiket khusus untuk mendapatkan “Menu Anti Hijab”, dan mereka harus membeli tiket itu dengan Puasa 10 hari lamanya, dan jika ingin dapat VIP, puasanya 41 hari, penuh dengan keikhlasan yang murni.

Yang dapat Free Pass juga ada, antara lain wartawan Cahaya Sufi, he..he..he…Walau sedikit nakal, dimaklumi, namanya juga wartawan. Tetap saja dapat perlakuan khusus.

Seorang pelayan yang elok rupawan jiwanya, mulai melayani mereka. Semakin mereka berebut, malah semakin mereka terlempar ke belakang. Karena menu ini tidak boleh dimakan dengan hawa nafsu, sebab kalau memakan dengan hawa nafsunya malah ia terhijab dan tersiksa. Bahkan siapa yang ingin coba-coba, ingin iseng, langsung terhempas dalam kehancurannya.

Para pelayan, akhirnya harus memilih, siapa yang lebih pasrah dan lebih ridho, lebih ikhlas dan lebih cinta kepada Allah swt, langsung dipersilakan.

Musik Istighfar, deru konser sholawat dan nada kalimah thoyyibah, berpadu dalam musik Kafe Sufi ini, khusus mengantar sajian-sajian menunya.

Para penatang yang tiba sebenarnya tidak ingin sekadar menikmati menu-menu di sana, tapi bagaimana caranya memasak dan resep menu di sajian istimewa kali ini.

Seorang pelayan datang menyodorkan menu-menu utama. Diatas kertas tertulis “Hijab adalah Siksaan yang menjauhkan dirmu dengan Allah.”

Lalu di kertas itu pula tertuang menu-menu sajian Anti Hijab:

Masuklah dapur menu masakan anti hijab ini dengan menutup mata kepala dari kain yang dipintal dari semesta lahir batin, agar segala hal selain Allah tertutup.

Ambillah air istighfar untuk direbus dulu dengan api kesadaran taubah.

Cucilah tangan anda dan segala alat-alat dengan air keikhlasan, dicuci dari kotoran memandang amal baik dan ibadah. Sebab memandang amal sendiri itu adalah lapisan hijab.

Buang semua rasa takjub pada diri sendiri dan hasrat selain Allah.

Masukkanlah ke dalam kendhil yang sudah mulai mendidih dan menggemuruhkan dzikrullah dibalik bunyi air mendidih itu, sejumlah dedaunan dari pohon ma’rifat, yang ditanam di bumi yaqin, dan cabang-cabangnya tumbuh menjulang ke langit Ilahi.

Jangan lupa garamnya yang dari samudera Quthubus Sab’ah (Samudera tempat berenangnya Tujuh Quthub dunia).

Beri pemanis dengan sesendok gula harapan, anugerah dan indahnya beribadah.

Nah, sekarang para konsumen mulai diingatkan agar tidak memasuki wilayah hijab yang tirainya sangat gelap gulita apalagi dibalik tirainya semakin gulita mengerikan.

Musibah terbesar manusia adalah hijab. Semua ini akan terbuka, berganti Cahaya Ma’rifah yang agung. Ketika terbuka, akal jadi cerdas, pikiran jadi jernih, hati jadi terang benderang, ruh berhembus kencang menuju Allah, dan Sirr menikimati kemesraan dengan Sang Kekasih di Kafe ini.

KH M LUKMAN HAKIEM MA 

WAHDATULWUJUD


Wujuding wijil wahyuning wangsit

Wiyoto woting waskitha kang winasis

Jajaning janma jatining jasad

Jumujuging jaladara jantra jinajah.

Amrih amining amaranti

Amina mastani mantra mastadi

Samudananing samudra samun

Sesongaran sasat susantiningrum.

Mungguh asmaning mung kanggo mupus

Dipeh prana nalika daruna dumateng

Tebining dhandhaka anyatrani

Lubering ludira anebaki daruni.

Najan hamung kinanthi sih utami

Awit diniyati tan kenging rinuyit,

Anggraitaa murih wekasanipun jrih

Muncrat handalidir mring bantala.

Tiba grahaning Hyang Suksma

Memitri awit saking nggenira

Njangkah tan angoncati

Tibaning Rohul Kudus amrih miranti.

Jinantra ontran-ontran kang amurwat

Murwating angkara murka

Nabrak, nunjang, ngobok-obok

Nggelar kadurjanan

Ngobrak-abrik tatanan

Salang-tunjang

Gede-cilik tanpa wirang.

Ana jalma mimba Gusti

Ngaku Allah sinarawedi

Ngendi ana titah padha karo Gusti

Kadunungan iblis pinasthi.

Manunggal kuwi ‘ra teges sami

Hamung celak raket ring Gusti

Hamung Allah kang pinuji-puji

Ya mung jalma najan wali.

Nyuwun ngapura mring Hyang Widhi

Wani nranyak mring Malikul’alam

Wus madhani Sing Gawe Urip
Dudu kuwi wahdatulwujud.
Sing bener kuwi ya mung aran titah
Ora samar angambrah-ambrah
Aja nerak hukume lumrah
Kawistra ora narimah.
Duh Gusti Kang Maha Lestari
Mugi kersa paring lubering pangastuti
Kang samya memesu ring karsaning Gusti

Najan sasarsusur yekti.<photo id="1" />

Jumat, 28 Oktober 2011

Syukur bersama Allah

Syeikh Ahmad ar-Rifa’y

Riwayat dari Abdullah bin Amr ra:

“Tuhanku mendidikku, dan “Rasulullah saw, masuk ke dalam rumahku, lalu bersabda, “Wahai Abdullah bin Amr, bukankan aku diberi informasi bahwa sebenarnya dirimu sangat ketat (memaksa diri) dalam sholat malam dan puasa di siang hari?”

Aku menjawab, “Saya memang melakukannya…”. 

Lalu Rasulullah saw, bersabda, “Cukuplah bagimu sebulan itu puasa tiga hari. Satu kebaikan itu sebanding dengan dengan sepuluh kebaikan, maka (jika anda melakukan puasa tiga hari setiap bulan) sama dengan puasa setahun penuh….” (Hr. Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzy, Nasa’I, Ibnu Majah, Daramy dan Ibnu Sa’d) Dia mendidik adabku dengan baik.” 

Dalam hadits ini ada rahasia-rahasia: 

1. Adanya berita gembira atas kesinambungan cahaya amal dengan cahaya amal yang lain tanpa terhenti, walau pun ada jarak waktu yang jauh. 

2. Berlipatgandanya pahala amal pada ummat ini, satu kebaikan sebanding dengan sepuluh kebaikan, agar hatinya bangkit untuk amal kebajikan. 

3. Tidak adanya keterpaksaan yang membuat si hamba jadi bosan.

4. Terus menerus berdzikir hingga hati tak tertimpa kealpaan.

5. Kepastian iman terhadap janji dan kebajikan kemuliaan Allah swt. 

Semua perilaku tersebut merupakan tingkah kaum ‘arifin yang melepaskan diri dari hasrat duniawi dan ukhrowi, dimana hasrat citanya hanyalah Tuhan mereka. Maka siapa pun yang himmahnya hanyalah Rabb, tiadalagi hasrat lain baginya.

Yahya bin Mu’adz ra, dalam munajatnya mengatakan:

“Ilahi, bila aku mengenalMu, sesungguhnya Engkau telah memberi petunjuk padaku. Jika aku mencariMu, sesungguhnya karena Engkau menghendakiKu. Jika aku datang kepadaMu, sesungguhnya Engkau memilihku. Jika aku taat padaMu, sesungguhnya karena Engkau memberi taufiq kepadaku. Dan jika aku kembali kepadaMu, itu karena Engkau menghampiriku.”

Diriwayatkan bahwa Nabi Musa as telah bermunajat:

“Oh Tuhan, bagaimana caraku bersyukur atas nikmat-nikmatMu, sedangkan setiap rambut yang tumbuh saja ada dua nikmat?”

Allah swt menjawab: 

“Wahai Musa! Bila engkau tahu bahwa dirimu sangat tak berdaya bersyukur kepadaKu, sesungguhnya engkau benar-benar telah bersyukur kepadaKu….”

Allah swt, mewahyukan kepada Nabi Dawud as:

“Bersyukurlah atas nikmatKu kepadamu…”

Nabi Dawud as, menjawab:

“Ya Allah bagaimana aku bisa bersyukur kepadaMu, sedangkan syukurku kepadaMu itu adalah nikmat teragung bagiku?”

“Bila engkau tahu itu, sebenarnya engkau hambaku paling bersyukur padaKu…” firmanNya dalam wahyu kepadanya.

Muhammad bin as-Sammak ra mengatakan, “Ingatlah kepada Dzat yang mendahului ingatNya sebelum dzikirmu, dan cintaNya sebelum cintamu. Apa pun yang kau dzikirkan tak lain jkecuali karena dzikirNya kepadamu, dan tak ada cintamu kepadaNya kecuali karena cintaNya kepadamu.”

Abu Bakr al-Wasithy ra, menegaskan, “Siapa yang lupa mengiat Allah Ta’ala berarti ia telah terkena Istidroj..”

Perlu diketahui bahwa sifat terendah dari seorang arif Billah adalah bila seseorang hatinya hidup bersama Allah tanpa ikatan apa pun, yaitu mengingat Allah, hanya kepada Allah. Hal demikian jelas, seperti dalam firmanNya, “Sesungguhnya dzikir Allah itu paling besar…”.

Dikatakan mengenai firman Allah Ta’ala:

“Sangat sedikit hamba-hambaKu yang sangat bersyukur”, artinya adalah sangat sedikit orang yang melihat anugerahKu ketika ia bersyukur kepadaKu..., Bersama Allah, kita bersyukur pada Allah.

Nabi Musa as, berkata:

“Ilahi, bagaimana Adam mampu bersyukur kepadaMu? Karena Adam Engkau cipta dari TanganMu, dan Engkau hembuskan RuhMu, dan Engkau posisikan di syurgaMu, serta Engkau perintah para malikat bersujud kepadanya, lalu mereka pun sujud?”

Allah swt, menjawab:

“Hai Musa! Adam tahu bahwa semua itu dariKu, lalu dia memuji karenanya.”

Siapa yang taat kepada Allah swt, sesungguhnya ia taat karena pertolonganNya, maka ia dapatkan anugerah. Siapa yang maksiat kepada Allah swt, maka karena bagian takdirNya yang ia maksiat kepadaNya. Bagi Allah ada hujjah baginya. AnugerahNya mendahului ketaatan hambaNya sebelum ia taat, dan keadilanNya mendahului maksiatnya sebelum ia berbuat maksiat. Karena Allah adalah Maha memberlakukan apa yang dikehendakiNya.

Dalam suatu riwayat Nabi Ibrahim as bermunajat :

“Oh Tuhanku, kalau bukan karena Engkau bagaimana aku mengenal siapa Engkau?”

Abu Abdullah ra, ditanya, “Bagaimana kami tidak senang dengan pujian dan sanjungan?”

“Semata karena lupa mengingat anugerah Allah pada kalian, lupa mengingat kebaikan pertolonganNya yang mendahuluimu. Siapa yang lupa anugerah dan ingkar nikmat, nikmat pun akan diterima sebagai derita…” jawabnya.

Anak-anakku… Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memberimu ma’rifat, dan menolongmu untuk taat kepadaNya tanpa minta balas kebaikan darimu dan tanpa minta pertolongan dari arahmu, karena itu sudah seyogyanya anda berdzikir kepadaNya dan berbakti kepadaNya tanpa minta ganti rugi dan kecukupan dariNya.”

Banyak sekali ragam kelompok ahli dzikir, diantaranya:

* Ada yang berdzikir karena tujuan meraih anugerah Islam,

* Ada yang berdzikir karena demi ashlus-Sunnah wal-Jamaah,

* Ada yang berdzikir karena adanya anugerah dibalik dzikirnya, hingga hati dan lisannya kelu, akalnya melayang, ia lebur dalam keagunganNya, bergerak dalam kemuliaanNya, hangus dalam mencintaiNya, disaat ia tahu bahwa seluruh amal itu tidak akan pernah bisa tegak kecuali bersamaNya.

Dzikir ada dua arah:

- Dzikir yang menimbulkan rasa takut dan rasa takut penuh cinta.

- Dzikir yang melahirkan rindu dan cinta.

Rasa takut dan cinta adalah dzikir bagi orang yang berdzikir bersama diri sendiri, kemudian ia melihat itu semua karena Dzikrnya Allah padanya yang menyebabkan dzikirnya kepada Allah Ta’ala, kemudian ia tahu bahwa dengan dzikrullah membuat sambung pada Dzikrinya Allah pada dirinya.

Sedangkan rindu dan cinta dibalik dzikir adalah dzikirnya orang yang mengingat Dzikrnya Allah di zaman Azali, hingga tiada maujud dan sirna diri di dunia, kemudian sampai abadi. Lalu dijumpai bahwa Ingatan Allah padanya telah ada sejak Azali, abadi selamanya. Sedangkan dzikirnya sendiri, malah tercampuri kotoran syahwat, teraduk oleh kealpaan demi kealpaan.

Maka sangat berbeda jauh antara orang yang masuk pada Allah Ta’ala dengan melihat dzikirnya sendiri, dan antara orang yang masuk kepada Allah Ta’ala dengan melihat anugerah dan kemuliaanNya. Perlu diketahui bahwa dzikirnya hamba kepada Allah Ta’ala, jika dibandingkan dengan penyandaran dzikirnya Allah Ta’ala pada si hamba, ibarat debu di bawah derasnya hujan.

Dengan dzikir kepadaMu hiduplah ejekanku hai pengkhayal Dan dengan DzikirMu kepadaku mendahului dzikirku sungguh teragung!

Engkau beri anugerah besar, hingga aku tak mampu mensyukurinya Manalagi anugerah elokMu yang mampu kusyukuri? 


 KH M Lukman Hakiem MA 

Wirid Lebih Utama Ketimbang Pahalanya

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary 

Tidak ada yang meremehkan konsistensi wirid (ketaatan di setiap waktu) kecuali orang yang sangat bodoh, karena warid (pahala wirid) itu akan di dapat di negeri akhirat, sedangkan taat atau wirid itu akan lenyap bersama lenyapnya dunia ini. Sedangkan yang lebih utama untuk diprioritaskan adalah yang wujudnya tidak bisa diabaikan. Wirid adalah HakNya yang harus anda laksanakan. Sedangkan warid adalah sesuatu yang anda cari dariNya. Mana yang lebih utama antara sesuatu yang dituntut oleh Allah padamu, dibanding apa yang anda tuntut dari Allah? Mayoritas ummat ini lebih banyak berburu pahala dan janjinya Allah swt. Dalam segala gerak gerik ibadahnya. Padahal yang lebih utama adalah ibadah dan kepatuhannya itu sendiri. Sebab kepatuhan dan ubudiyah yang dituntut oleh Allah swt, dan menjadi HakNya, itu lebih utama dibanding hak kita yang besok hanya akan bisa kita raih di akhirat. Sebab kesempatan melaksanakan HakNya saat ini dibatasi oleh waktu dunia, dan akan habis ketika usia seseorang itu selesai. Karena itu selagi di dunia, ibadah, amal, wirid harus diperbanyak sebanyak-banyaknya. Soal pahala dan balasan di akhirat itu bukan urusan kita. Manusia tidak berhak mengurus dan menentukan pahalanya. Semua itu adalah haknya Allah swt. Yang telah dijanjikan kepada kita, karena merasa menginginkannya. Ibnu Athaillah lalu menegaskan, mana lebih utama tuntutan anda apa tuntutan Allah? Disinilah lalu berlaku pandangan:


1. Taat itu lebih utama dibanding pahalanya. 
2. Doa itu lebih utama dibanding ijabahnya.
3. Istiqomah itu lebih utama dibanding karomahnya.
4. Berjuang itu lebih utama dibanding suksesnya.
5. Sholat dua rekaat itu lebih utama ketimbang syurga seisinya.
6. Bertobat itu lebih utama ketimbang ampunan.
7. Berikhtiar itu lebih utama ketimbang hasilnya.
8. Bersabar itu lebih utama ketimbang hilangnya cobaan.
9. Dzikrullah itu lebih utama dibanding ketentraman hati.
10. Wirid itu lebih utama ketimbang warid.
11. dan seterusnya.


Para sufi sering mengingatkan kita, “Carilah Istiqomah dan jangan anda menjadi pemburu karomah. Sebab nafsumu menginginkan karomah sedangkan Tuhanmu menuntutmu istiqomah. Jelas bahwa Hak Tuhanmu lebih baik dibanding hak nafsumu.” Abu Syulaiman ad-Darany menegaskan, “Seandainya aku disuruh memilih antara sholat dua rekaat dan masuk syurga firdaus, sungguh aku memilih sholat dua rekaat. Karena dalam dua rekaat itu ada Hak Tuhanku, sedangkan dalam syurga firdaus hanya ada hak diriku.”

KH DR M Luqman Hakiem MA

Kamis, 06 Oktober 2011

Ruh Ma'rifat


Dari Anas bin Malik ra: Rasulullah Saw, bersabda:

“Islam itu jelas (lahiriah), dan Iman itu ada dalam qalbu, sedangkan Taqwa di sini.”

Rasulullah Saw, mengulang sampai tiga kali sambil menunjuk dengan tangannya ke arah dada beliau. Taqwa yang menetap di qalbu, lalu membuat iman menjadi kokoh, adalah ruh ma’rifat itu sendiri.”

Saudaraku yang mulia! Sesungguhnya Allah Swt, menjadikan segalanya dengan kepastian, dan setiap kepastian itu ada batasan, dan setiap batasan ada sebabnya, setiap sebab ada waktunya, dan setiap waktu ada ketentuannya, setiap ketentuan ada perintah, setiap perintah ada makna, dan setiap makna ada benarnya, setiap yang benar ada kebenarannya, dan setiap kebenaran ada hakikatnya, setiap hakikat ada ahlinya, dan setiap ahlinya ada tandanya.

Dengan tanda itu bisa diketahui siapa yang berbuat benar dan siapa yang berbuat batil. Setiap qalbu didudukkan di hamparan perwujudan ma’rifat, dimana kema’rifatan itu memantul pada wajahnya dan berpengaruh pada gerak gerik lahiriahnya, tindakan dan ucapannya, sebagaimana firman Allah Swt :

“Kamu sekalian mengenal mereka dengan tanda-tanda mereka.”

Rasulullah Saw, bersabda:

“Siapa yang menyembunyikan rahasia jiwa, Allah memakaikan padanya pakaian rahasia jiwa. Jika ia baik, maka menjadi baik. Jika ia buruk, maka jadi buruk.”

Sebaik-baik pekerti: Kaum Sholihin

Yahya bin Mu’adz ra, ditanya, “Bagaimana pekerti kaum ‘arifin bisa menjadi elok wajahnya, dan lebih kharismatik dibanding yang lain?”

“Karena mereka menyendiri bersama Allah penuh dengan kemesraan. Mereka mendekat kepada Allah Swt, menghadap total, dan berangkat kepadaNya penuh kepatuhan. Maka Allah Swt, memberikan pakaian cahaya ma’rifatNya kepada mereka, yang didalamNya mereka bicara, dan bagiNya mereka beramal, dariNya mereka mencari, kepadaNya mereka bersukacita. Merekalah kaum istimewaNya (khawash) yang terdepan. Langkahnya dalam taat kepada Allah Swt, tanpa sedikit pun bergantung pada lainNya, dan mereka menasehati khalayak umum tanpa sedikit pun ada pamrih.

Mereka senantiasa merindu, kembali kepada Allah Swt, qalbunya penuh rasa takut, jiwanya penuh rasa gentar, hati mereka adalah IstanaNya, akal mereka terselubungi, ruh mereka membubung luhur, dan semuanya terlindungi dengan hatinya dari fitnah manusia.

Dzikir mereka menjaganya dari was-was buruk, dadanya melapang luas, dan jasadnya terbuang dari khalayak, qalbunya terluka, sedang pintu-pintu alam malakut senantiasa terbuka bagi mereka. Qalbu mereka bagai pelita. Anggota badan mereka tunduk bagai terikat kuat, lisannya sibuk membaca Al-Qur’an, romannya menguning karena ketakutan akan jauh dari Allah Swt, dan jiwanya tercurah bagi khidman pada Ar-Rahman, hatinya terpancarkan cahaya iman, jiwanya sibuk mencari, ruhnya sibuk mendekat Tuhan. Sedang pada ucapannya ada sifat menunjukkan kepada Ketuhanan Allah Swt, pada tiang-tiang dirinya penuh kelanggengan khidmah, dan pada jiwanya ada pengaruh kehambaan, dalam hatinya ada kharisma Fardaniyah, dalam rahasia batinnya ada hasrat membubung ke Uluhiyah, sedang dalam ruhnya ada keterpesonaan pada Wahdaniyah.

Bergantungnya kaum ‘arifin dengan Allah swt.

Bibir-bibir mereka senantasa tersenyum kepadaNya. Mata mereka senantiasa memancar kepadaNya. Qalbu-qalbu mereka terus bergelayut kepada Allah Swt, hasrat mereka sinambung kepadaNya, rahasia batin mereka terus menerus memandangNya. Mereka melemparkan dosa-dosa mereka ke samudera taubat, dan mereka menghamburkan kepatuhannya ke samudera anugerah. Mereka buang gerak gerik batinnya ke lautan Keagungan. Dan kehendak mereka terlempar ke lautan sucinya jiwa, bahkan hasrat mereka adalah samudera mahabbah.

Di medan khidmah kepadaNya mereka berlalu lalang. Di bawah payung kemuliaan mereka saling merenda keindahan.

Dan di taman rahmatNya mereka merambat, lalu mereka mencium aroma anugerah yang wangi.

Mereka memandang dunia dengan mata perenungan, memadang akhirat dengan mata penantian, memandang nafsunya dengan mata hina, memandang taatnya dengan mata penuh kekurangan, bukan dengan mata merasa amal.

Mereka memandang ampunan dengan mata kebutuhan, memandang ma’rifat dengan mata kegembiraan, memandang Yang Di ma’rifati Allah Swt, dengan mata kebanggan. Mereka melemparkan nafsunya dalam negeri cobaan, dan melemparkan ruhnya ke negeri akhirat kemudian, qalbu-qalbu mereka menuju keluhuran dan kharisma, lisan mereka sumber puja dan pujian, ruh mereka adalah tempat-tempat rindu dan cinta, sedangkan nafsu mereka dikendalikan oleh akal dan kecerdasan.

Hasrat mereka lebih banyak untuk kontemplasi dan tafakkur. Ucapan terbanyak mereka adalah memuja dan memujiNya. Amal mereka adalah taat dan khidmah. Pandangan mereka hanya kelembutan dibalik ciptaan Rabbul Izzah Swt.

Diantara mereka anda lihat pucat menguning wajahnya karena rasa takut pisah denganNya, sendi-sendinya gemetar karena Kharisma KebesaranNya. Begitu panjang mereka menunggu penuh rindu bertemu denganNya. Mereka menempuh Jalan Al-Musthafa. Mereka lempar dunia ke belakang tengkuknya. Mereka rasakan kesenangan nafsu sebagai konsumsi kehampaan. Mereka lebih berteguh pada pijak telapak keserasian yang benar.

Perilaku pecinta pada Tuannya.

Perilakunya di dunia selalu asing. Qalbunya di dadanya merasa gersang. Rahasia batinya dalam nafsunya juga terasing. Sang pecinta tak pernah istirahat dari kegundahan keterasingan dan kegentarannya, sepanjang ia belum sampai pada Sang Kekasih. Perkaranya aneh. Sedang Allah Swt adalah penyembuhnya. Ucapannya senantiasa penuh dengan limpahan ekstase, qalbunya menyendiri, akalnya serba Allah Swt (Rabbani), hasratnya serba bergantung padaNya (Shomadani), hidupnya ruhani, amalnya Nuraniyah, dan ucapannya serba langit (samawiyah).

Allah Swt, jadikan hatinya tempat rahasiaNya, tempat pandanganNya, lalu diriasnya dengan keelokan hiasan RububiyahNya, dan dimasukkan ke negeri aturan dari kekuasaanNya.

Ia berputar mengitari keagunganNya dengan nurani qalbunya, dan membubung tinggi ke Taman SuciNya, lalu terbang dengan sayap-sayap ma’rifat menuju kemah-kemah rahasiaNya, berjalan ke meda-medan qudratNya, menembus hijab JabarutNya.

Seandainya orang bodoh melihatnya, ia mati seketika, setelah mengenalnya ketika itu. Tandanya, bencana dunia baginya adalah madu. Kegelisahan adalah buah ranum indah, ketika di akhirat setiap orang berkata: Oh nasibku…duhai nasibku! Sedangkan

ia malah berkata: Rabbi…Rabbi..! Engkaulah hasrat kehendakku…hasrat citaku…!

Sang arif punya empat tanda:

• Cintanya kepada sang Maha Agung

• Meninggalkan apapun yang banyak maupun yang sedikit,

• Mengikuti jejak At-Tanzil (Qur’an dan Sunnah)

• Ketakutannya jika ia harus berpindah dari Tuhannya.

Sang hamba punya bagian. Sang penakut punya rasa ingin lari. Sang pecinta punya asmara. Sang arif punya kegirangan.

Sumber:

Menjelang Ma'rifat - Syeikh Ahmad ar-Rifa'y

Yang Penting Justru Adab

Pengajian Al-Hikam: Yang Penting Justru Adab

“Yang terpenting bukannya tercapainya apa yang engkau cari, tetapi yang penting adalah engkau dilimpahi rizki adab yang baik”

Dalam ajaran thariqat Sufi, adalah “Yang terpenting bukannya tercapainya apa yang engkau cari, tetapi yang penting adalah engkau dilimpahi rizki adab yang baik”,bukan terwujudnya apa yang diinginkan (sukses), tetapi lebih penting dari itu semua kita dikaruniai adab yang bagus. Baik adab dengan Allah, adab dengan Rasulullah saw, adab dengan para Syeikh, para Ulama, adab dengan sahabat, keluarga, anak dan isteri, dan adan dengan sesama makhluk Allah Ta’ala.

Apa yang ada di sisi Allah swt, tidak bisa diraih dengan berbagai upaya sebab akibat, namun kita harus mewujudkan adab yang baik di hadapanNya, karena dengan adab itulah ubudiyah akan terwujud. Allah swt, berfirman: “Agar Allah menguji mereka, manakah diantara mereka yang terbaik amalnya.” (Al-Kahfi: 7), Allah tidak menyebutkan bahwa yang terbaik itu adalah yang terbanyak suksesnya, juga bukan yang terbaik adalah raihan besarnya.

Rasulullah saw, bersabda: “Taqwalah kepada Allah dimana pun engkau berada, dan ikutilah keburukan itu dengan kebajikan, sehingga keburukan terhapus. Dan bergaullah dengan sesama manusia dengan akhlak yang baik.” (Hr. Imam Ahmad, dan At-Tirmidzy).

Seluruh proses adab itu adalah menuju keserasian dengan sifat-sifatNya, dan inilah yang disebutkan selanjutnya oleh Ibnu Athaillah:

“Tak ada yang lebih penting untuk anda cari dibanding rasa terdesak, dan tidak ada yang lebih mempercepat anugerah padamu ketimbang rasa hina dan rasa faqir padaNya.”

Sikap terdesak, hina, fakir, itulah yang membuat anda terus kembali kepada Allah swt tanpa sedikit pun faktor yang menyebabkan rasa tersebut muncul. Dan sebaik-baik waktu tentu saja, – sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam pula – adalah waktu dimana anda menyaksikan sifat butuh anda kepada Allah, dan dikembalikan pada wujud hinamu di hadapanNya.

Para sufi sering bersyair:

Adab sang hamba adalah rasa hinanya

Sang hamba tak pernah meninggalkan adab

Sang hamba jika sempurna rasa hinanya

Sang hamba meraih cinta dan kedekatannya.

Hajat manusia bertingkat-tingkat; Ada hajat dunianya, ada hajat akhiratnya, ada hajat meraih anugerahNya, ada hajat hanya kepada Allah swt, saja.

Tentu hajat tertinggi adalah menuju dan wushul kepada Allah Ta’ala, dan itu semua harus diraih dengan rasa butuh yang sangat, rasa hina dan fakir Kepada Allah ta’ala.

Pernah dikatakan kepada Abu Yazid, “Pekerjaanmu senantiasa dipenuhi dengan rasa bakti, bila engkau menghendakiKu maka engkau harus datang dengan rasa hina dan butuh.”

Diantara makna berguna dari rasa butuh itu adalah:

1) Rasa berpaling dari makhluk Allah Ta’ala secara total,

2) Menghadap Allah dengan total pula,

3) Sang hamba berhenti di batasNya tanpa membuat pengakuan sedikit pun.

Tiga hal yang merupakan jumlah kebajikan dan kesempurnaan.


OLeh: KH M Luqman Hakiem