Rabu, 30 November 2011

Asal usul taat dan maksiat


Keluarlah dirimu dari sifat-sifat nafsu kemanusiaan mu, sifat-sifat yang bisa merusak ubudiyah mu, agar panggilan Allah bisa di respon positif dan kedekatan dengan Allah senantiasa hadir.
Sehari-hari kita sering mengucapkan kata-kata seperti "......itukan manusiawi...", atau wajarlah kita sebagai manusia...dsb.
Yang sesungguhnya merupakan ekspresi dari sisi-sisi nafsu kita yang bicara, ketika kita mencari dalih pembenaran atas kesalahan kita.
Sifat-sifat manusiawi yang sering kita jadikan alibi , itulah yang sesungguhnya berkembang secara negatif dalam pertumbuhan spiritual kita. pada saat yang sama jelas menghambat hubungan kita degan Allah swt.
Hikmah di atas sebagai kelanjutan dari masalah hijab, masalah yang menghalangi pandangan mata hati kita kepada Allah. Oleh sebab itu element yang perlu di angkat berikutnya tentu bagaimana seseorang bisa keluar dari hijab dirinya sendiri, yg bersarang pada sifat-sifat manusiawi diatas.
Menurut Syeikh Zaruq, sifat-sifat manusiawi itu terbagi menjadi 2 bagian:
Pertama: Sifat-sifat relevan dengan Ubudiyah, seperti sifat ta'at, menjaga jiwa, maupun sifat yang terpuji.
Kedua: Sifat yang bisa merusak Ubudiyah sperti maksiat, syahwat dan ke alpaan.
Dimaksudkan keluar dari sifat manusiawi adalah sifat yang mendorong seseorang untuk alpa, maksiat dan syahwat. itulah yang merusak (destruktif) terhadap ibadah. sekaligus juga menjauhkan kehadiran Ilahi di hari kita.
Keluarnya "Diri" itu merupakan syarat dari panggilan Ilahi.
Orang yang di penuhi oleh hawa nafsunya tidak akan mendengar panggilan Ilahi dan cenderung melempar jauh-jauh suara Ilahiyah itu. Misalnya panggilanNya: "Wahai orang-orang beriman....Wahai Ummat manusia...Wahai Nabi....Wahai Insan... dsb. Yang senantiasa bergema di telinga hati kita.
Ja'far ash-Shadiq ra, pernah berkata bila kamu mendengar panggilan: "Wahai orang-orang beriman....., maka simaklah, sebab panggilan itu berisi perintah atau larangan". Jawaban atas Ilahi itu terbagi dalam 3 hal:
- Membenarkan
- Mengamalkannya
- Hasratnya hanya untuk Allah dalam mengamalkannya itu.
Sultonul Aulia Syeikh Abul Hasan As-Syadzily, menegaskan, "Apabila Allah memuliakan hambanya dalam gerak dan diamnya maka Allah memberikan bagian Ubudiayahnya hanya untuk Allah dalam pandangan hatinya, sedangkan bagian-bagian gerak hawa nafsunya di tutupi". Allah menjadikan si hamba itu senantiasa keluar masuk, bolak-balik dalam situasi Ubudiyah sementara hasrat hawa nafsunya tertutupi oleh nuansa yang berlangsung dalam takdir yang menyelimuti, bahkan sama sekali tidak berpaling pada nfsu itu.
Sebaliknya apabila Allah merendahkan seorang hamba dalam gerak dan diamnya maka hasrat nafsunya di buka dan hasrat Ubudiyahnya di tutup, lalu hamba itu berputar-putar pada syawat nafsunya, sedangkan Ubudiyahnya seakan-akan lepas dari dirinya. Walaupun kelihatan secara lahiriyah dia beribadah.
Dari sinilah Ibnu Atha'ilah melanjutkan bahwa nafsu itulah sumber segala bencana.
"Asal usul maksiat, syahwat dan kealpaan, adalah kerelaan kita pada nafsu".
Apakah maksiat itu? maksiat adalah tindakan yang meyimpang dari perintah Allah dan menerjang laranganNYA. Sedangkan menuruti hawa nafsu itu berarti menyalurkan kompensasi nafsu untuk mencari kesenangan. Sementara di maksud dengan kealpaan adalah mengabaikan tindakan sunnah dan wajib, begitu juga ketika melakukan kewajiban disertai orientasi hawa nafsu, tergolong kealpaan pula.
Kerelaan terhadap hawa nafsu itu tanda-tandanya ada 3:
- Melihat kebenaran menurut selera dirinya.
- Memanjakan nafsu.
- Memejamkan mata dari aib-aib nafsu itu sendiri. Sehingga jauh dari penyucian jiwa.
Sebaliknya asal-usul ketaatan, mawas diri dan sadar diri adalah ketidakrelaan pada nafsu. Tanda ketidakrelaan kita pada nafsu adalah :
- Curiga pada siasat nafsu.
- Waspada pada bahayanya.
- Dan menekan nafsu dalam berbagai kesempatan.
Abu Hafs Al-Haddad ra, berkata siapa yang tidak curiga pada nafsunya sepanjang waktu, tidak menetangnya dalam semua prilaku, tidak menekannya padahari-harinya, maka orang itu telah terpedaya. Siapa yang memandang nafsu itu denagn pandangan yang indah, maka nafsu itu telah menghancurkan dirinya. Bagaimana orang yang waras akalnya akan rela pada nafsunya.


Oleh: KH. M luqman Hakim MA

Karomah Bukan Derajat Luhur


“Tidak setiap orang yang memiliki keistemewaan itu sempurna kebersihan batin dan keikhlasannya.”
Saat ini publik ummat sering menilai derajat luhur seseorang dari kehebatan-kehebatan ilmu dan karomahnya. Syeikh Abu Yazid al-Bisthamy pernah didatangi muridnya, yang melaporkan karomah dan kehebatan seseorang.
“Dia bisa menyelam di lautan dalam waktu cukup lama…”
“Saya lebih kagum pada paus di lautan…”
“Dia bisa terbang…!” kata muridnya.
“Saya lebih heran, burung kecil terbang seharian…karena kondisinya memang demikian,” jawabnya.
“Lah, dia ini bisa sekejap ke Mekkah…”
“Saya lebih heran pada Iblis sekejap bisa mengelilingi dunia…Namun dilaknat oleh Allah.”
Suatu ketika orang yang diceritakan itu datang ke masjid, tiba-tiba ia meludah ke arah kiblat.
“Bagaimana ia menjaga adab dengan Allah dalam hakikat, sedangkan adab syariatnya saja tidak dijaga..” kata beliau.
Banyak orang yang mendalami ilmu pentetahuan, mampu membaca dan mengenal dalil, kitab-kitab, bahkan memiliki keistemewaan, tetapi banyak pula diantara mereka tidak bersih hatinya, tidak ikhlas dalam ubudiyahnya.
Begitu pula ketika karomah dan tanda-tanda yang hebat itu disodorkan pada Sahl bin Abdullah at-Tustary, ra, beliau balik bertanya, “Apa itu tanda-tanda? Apa itu karomah? Itu semua akan sirna dengan waktunya. Bagiku orang yang diberi pertolongan Allah swt untuk merubah dari perilakunya yang tercela menjadi perilaku yang terpuji, lebih utama dibanding orang yang punya karomah seperti itu.”
Sebagian Sufi mengatakan, “Yang mengagumkan bukannya orang yang memasukkan tangan ke kantong sakunya, lalu menafkahkan apa saja dari kantong itu. Yang mengagumkan adalah orang yang memasukkan tangannya ke kantong sakunya karena merasa ada sesuatu yang disimpan di sana. Begitu ia masukkan tangannya ke sakunya, sesuatu itu tidak ada, namun dirinya tidak berubah (terkejut) sama sekali.”
Jadi karomah itu sesungguhnya hanyalah cara Allah memberikan pelajaran kepada yang diberi karomah agar perjalanan ruhaninya tidak berhenti, sehingga semakin menajak, semakin naik, bukan untuk menunjukkan keistimewaanya.
Yang istimewa adalah Istiqomah. Karena itu para Sufi menegaskan, “Jangan mencari karomah, tetapi carilah Istiqomah.” Sebab istiqomah itu lebih hebat dibanding seribu karomah. Dan memang, hakikat karomah adalah Istiqomah itu sendiri.
Bahkan Imam Al-Junayd
al-Baghdady pernah mengingatkan, betapa banyak para Wali yang terpleset derajatnya hanya karena karomah.
Syeikh Abdul Jalil Mustaqim pernah mengatakan, ketika anda diludahi seseorang dan anda sama sekali tidak marah, itulah karomah, yang lebih hebat dibanding karomah yang lainnya.
Ketika dalam sebuah perkumpulan Thariqat Sufi, tiba-tiba ada seseorang datang, dan langsung membicarakan kehebatan ilmu ini dan itu, karomah si ini dan si itu. Lalu seseorang diantara mereka menegur,
“Mas, kalau di sini, ilmu-ilmu seperti yang anda sampaikan tadi hanya dinilai sampah. Jadi percuma sampean bicara sampah di sini…” kenapa ilmu itu bagaikan sampah ? karena di dalam pengamalanya sama sekali tidak ada LILLAH nya...tidak lebih hanya demi agar bisa ini..bisa itu...
Ada seseorang disebut-sebut sebagai Wali:
“Wah dia itu wali, bisa baca pikiran orang, dan kejadian-kejadian yang pernah kita lakukan walau pun sudah bertahun-tahun lamanya…”
“Lah, orang yang punya khadam Jin juga bisa diberi informasi oleh Jinnya tentang kejadian yang lalu maupun yang akan datang… Jadi hati-hati…”
“Beliau itu keturunan seorang Ulama besar..”
“Tidak ada jaminan nasab itu, nasibnya luhur di hadapan Allah…”
Dan panjang sekali kajian soal karomah dan kewalian ini, yang butuh ratusan halaman. Tetapi kesimpulannya, seseorang jangan sampai mengagumi kehebatan lalu mengklaim bahwa kehebatan itu menunjukkan derajat di depan Allah. Tidak tentu sama sekali.


KH M Lukman Hakiem MA

Selasa, 08 November 2011

Islam & Tasawuf: Kenapa Amalan di Terima ?

Islam & Tasawuf: Kenapa Amalan di Terima ?

Kenapa Amalan di Terima ?


“Kalau bukan karena indahnya tutupnya Allah swt, maka tak satu pun amal diterima.” Kenapa demikian? Sebab nafsu manusia senantiasa kontra dengan kebajikan, oleh sebab itu jika mempekerjakan nafsu, haruslah dikekang dari sifat atau karakter aslinya.

Dalam firmanNya: “Siapa yang yang menjaga nafsunya, maka mereka itulah orang-orang yang menang dan bahagia.”(Al-Hasyr 9)

Nafsu, ketika masuk dalam kinerja amaliah, sedangkan nafsu itu dasarnya adalah cacat, maka yang terproduksi nafsu dalam beramal senantiasa cacat pula. Kalau toh dinilai sempurna, nafsu masih terus meminta imbal balik, dan menginginkan tujuan tertentu, sedangkan amal itu inginnya malah ikhlas. Jadi seandainya sebuah amal diterima semata-mata bukan karena amal ansikh, tetapi karena karunia Allah Ta’ala pada hambaNya, bukan karena amalnya.

Abu Abdullah al-Qurasyi ra mengatakan, “Seandainya Allah menuntu ikhlas, maka semua amal mereka sirna. Bila amal mereka sirna, rasa butuhnya kepada Allah Ta’ala semakin bertambah, lalu mereka pun melakukan pembebasan dari segala hal selain Allah swt, apakah berupa kepentingan mereka atau sesuatu yang diinginkan mereka.”

Oleh sebab itu Ibnu Athaillah melanjutkan:
“Anda lebih butuh belas kasihan Allah swt, ketika anda sedang melakukian taat, dibanding rasa butuh belas kasihNya ketika anda melakukan maksiat.” Kebanyakan manusia memohon belas kasihan kepada Allah Ta’ala justru ketika ia menghadapi maksiat, dan merasa aman ketika bisa melakukan taat ubudiyah. Padahal justru yang lebih dibutuhkan manusia adalah Belas Kasih Allah ketika sedang taat. Karena ketika sedang taat, para hamba sangat rawan “taat nafsu”, akhirnya seseorang terjebak dalam ghurur, atau tipudaya dibalik amaliyahnya sendiri.

Rasulullah saw, bersabda:
“Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada salah seorang Nabi dari para NabiNya: “Katakanlah kepada hamba-hambaKu yang tergolong shiddiqun, jangan sampai mereka tertimpa tipudaya. Sebab Aku, bila menegakkan keadilanKu dan kepastian hukumKu kepada mereka, Aku akan menyiksa mereka, tanpa sedikit pun aku menzalimi mereka. Dan katakanlah kepada hambaKu yang ahli dosa, janganlah mereka berputus asa, sebab tak ada dosa besar bagiKu manakala Aku mengampuninya.”

Bahkan Abu Yazid al-bisthami ra mengatakan: “Taubat dari maksiat bisa sekali selesai, tetapi taubat karena taat bisa seribu kali pertaubatan.”
Mengapa kita harus lebih waspada munculnya dosa dibalik taat? Karena nafsu dibalik maksiat itu jelas arahnya, namun nafsu dibalik taat sangat lembut dan tersembunyi.
Diantara nafsu dibalik taat yang menimbulkan dosa dan hijab antara lain:
1. Mengandalkan amal ibadahnya, lupa kepada Sang Pencipta amal.
2. Bangga atas prestasi amalnya, lupa bahwa yang menggerakkan amal itu bukan dirinya, tetapi Allah swt.
3. Selalu mengungkit ganti rugi, dan banyak tuntutan dibalik amalnya.
4. Mencari keistemewaan amal, hikmah dibalik amal, lupa pada tujuan amalnya.
5. Merasa lebih baik dan lebih hebat dibanding orang yang belum melakukan amaliyah seperti dirinya.
6. Seseorang akan kehilangan kehambaannya, karena merasa paling banyak amalnya.
7. Iblis La’natullah terjebak dalam tipudayanya sendiri, karena merasa paling hebat amal ibadahnya.
8. Menjadi sombong, karena ia berbeda dengan umunya orang.
9. Yang diinginkan adalah karomah-karomah amal.
10. Ketika amalnya diotolak ia merasa amalnya diterima.


KH M Luqman Hakiem MA

Sang Pengelana (NIKMATNYA SELINGKUH - MUAKNYA DOSA)

Taman Jiwa kaum Sufi


NIKMATNYA SELINGKUH MUAKNYA DOSA Selingkuh itu nikmat, “kata para peselingkuh. Kenapa? Sebab dalam peselingkuhan ada tantangan dan petualangan. Dalam petualangan, ada pemanjaan terhadap nafsu yang dikeluarkan dari kerangkeng kebenaran dan kejujuran. Lalu ada dosa yang dijubahi oleh rasa takut dan khawatir. Ada rasa nikmat yang disembunyikan dlam kesemuan dan penyimpangan. Itulah nikmatnya kegelapan. Dalam statistic perselingkuhan pria lebih menonjol. Walaupun sesungguhnya para wanita juga menginginkan perselingkuhan ketika rumah tangganya mulai tidak harmonis. Pria pun berselingkuh disebabkan adanya factor elementer dalam hubungan suami istri mulai keropos. Ada yang berselingkuh karena sekedar iseng, atau menikmati kejenuhan. Ada juga yang berselingkuh dengan serius sampai tenggelam dalam selimut nafsunya. Ada yang berselingkuh karena memang ia petualang eksotis. Ada yang berselingkuh karena persellingkuhan tidak lagi menjadi norma tetapi memang menjadi bagian dari ideology liberalisme. Dan yang paling aneh adalah jika berselingkuh itu sebagai status social dan label kejantanan. Rumahku adalah syurgaku. Kata itu paling popular dalam agama. Elemen-elemen surgawi di era modern telah sirna dari tiang-tiang penyangganya. Para penghuni rumah itu telah merobohkan sendiri melalui pengeroposan psikologisnya setiap saat, setiap hari, setiap minggu dan seterusnya. Lalu roboh diam-diam. Bahkan kekecewaan itu ia bangun dengan kekecewaan berikutnya, peselingkuhan. Tetapi, sesungguhnya juga bukan karena surga rumah tangga yang utuh itu dirobohkan oleh penghuninya. Namun juga oleh tetangga, teman kantor, eksotisme di luar, industri eksotisme, dan fasilitas yang memanjakan. Sudah waktunya pasangan-pasangan membangun masa depan muthmainnah (ketentraman dan kedamaian). Syaratnya sederhana, memulai pandangan hidup dengan mengembalikan usaha, ikhtiar dan kegagalan kepada Allah. Ketentraman dan kedamaian akan terus sirna manakala jiwa Anda tidak pernah kembali kepada Allah sebagai tujuan hidup. Bahkan ketika Anda masih mengembalikan prestasi yang Anda peroleh saat ini sebagai upaya dan daya Anda sendiri. Bukan sebagai anugerah Allah dan Anda pun akan terus tergoda oleh perselingkuhan. Perselingkuhan, karenanya adalah eksploitasi dari nafsu lawwamah. Nafsu yang ambisius terhadap hal-hal yang hedonis, meterialistis dan kemewahan lainnya. Apalagi dunia lawwamah telah muncul dalam tawaran pesonanya melalui goyang para persikmania, pusar, perut para wanita, seksisme yang berbunga di sejuta trotoar dan etalase, dalam prostitusi kebudayaan kita. Ibu-ibu sangat membenci perselingkuhan. Kaum perempuan lajang yang sedang berpacaran juga paling benci dan dendam dengan perselingkuhan. Dan sesungguhnhya, kaum pria juga membencinya setengah mati jika pasangannya berselingkuh. Tetapi kesimpulan dari semua perselingkuhan di dunia ini hanya karena seluruh pasangan telah kehilangan Tuhan dalam harmoninya. Membangun kejujuran itu sulit. Menjadi tidak sulit ketika Anda mulai belajar jujur. Jujurlah kepada Allah dengan mengatakan apa adanya kepada-Nya. Minus dan plus diri Anda. Katakan dosa-dosa Anda kepada Allah niscaya Allah memeluk Anda dengan pelukan yang lebih membahagiakan ketimbang keinginan bahagia semu si balik perselingkuhan.

Sabtu, 05 November 2011

Penetapan Idul Adha

Bahwa bila umat Islam meyakini, bahwa pilar dan inti dari ibadah Haji adalah wukuf di Arafah, sementara Hari Arafah itu sendiri adalah hari ketika jamaah haji di tanah suci sedang melakukan wukuf di Arafah, sebagaimana sabda Nabi saw.:

«اَلْحَجُّ عَرَفَةُ»

Ibadah haji adalah (wukuf) di Arafah. (HR at-Tirmidzi, Ibn. Majah, al-Baihaqi, ad-Daruquthni, Ahmad, dan al-Hakim. Al-Hakim berkomentar, “Hadits ini sahih, sekalipun beliau berdua [Bukhari-Muslim] tidak mengeluarkannya”).

Dalam hadits yang dituturkan oleh Husain bin al-Harits al-Jadali berkata, bahwa amir Makkah pernah menyampaikan khutbah, kemudian berkata:

«عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللهِ e أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ فَإِنْ لَمْ نَرَهُ وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا»

Rasulullah saw. telah berpesan kepada kami agar kami menunaikan ibadah haji berdasarkan ru’yat (hilal Dzulhijjah). Jika kami tidak bisa menyaksikannya, kemudian ada dua saksi adil (yang menyaksikannya), maka kami harus mengerjakan manasik berdasarkan kesaksian mereka. (HR Abu Dawud, al-Baihaqi dan ad-Daruquthni. Ad-Daruquthni berkomentar, “Hadits ini isnadnya bersambung, dan sahih.”).

Hadits ini menjelaskan: Pertama, bahwa pelaksanaan ibadah haji harus didasarkan kepada hasil ru’yat hilal 1 Dzulhijjah, sehingga kapan wukuf dan Idul Adhanya bisa ditetapkan. Kedua, pesan Nabi kepada amir Makkah, sebagai penguasa wilayah, tempat di mana perhelatan haji dilaksanakan, untuk melakukan ru’yat; jika tidak berhasil, maka ru’yat orang lain, yang menyatakan kesaksiannya kepada amir Makkah.

Sekilas Tentang Idul Adha

Idul Adha (di Republik Indonesia, Hari Raya Haji, bahasa Arab: عيد الأضحى) adalah sebuah hari raya Islam. Pada hari ini diperingati peristiwa kurban, yaitu ketika nabi Ibrahim (Abraham), yang bersedia untuk mengorbankan putranya Ismail untuk Allah, akan mengorbankan putranya Ismail, kemudian digantikan oleh-Nya dengan domba.

Pada hari raya ini, umat Islam berkumpul pada pagi hari dan melakukan salat Ied bersama-sama di tanah lapang, seperti ketika merayakan Idul Fitri. Setelah salat, dilakukan penyembelihan hewan kurban, untuk memperingati perintah Allah kepada Nabi Ibrahim yang menyembelih domba sebagai pengganti putranya.

Hari Raya Idul Adha jatuh pada tanggal 10 bulan Dzulhijjah, hari ini jatuh persis 70 hari setelah perayaan Idul Fitri. Hari ini juga beserta hari-hari Tasyrik diharamkan puasa bagi umat Islam.

Pusat perayaan Idul Adha adalah sebuah desa kecil di Arab Saudi yang bernama Mina, dekat Mekkah. Di sini ada tiga tiang batu yang melambangkan Iblis dan harus dilempari batu oleh umat Muslim yang sedang naik Haji.

Hari Idul Adha adalah puncaknya ibadah Haji yang dilaksanakan umat Muslim.