Bahwa bila umat Islam meyakini, bahwa pilar dan inti dari
ibadah Haji adalah wukuf di Arafah, sementara Hari Arafah itu sendiri adalah
hari ketika jamaah haji di tanah suci sedang melakukan wukuf di Arafah,
sebagaimana sabda Nabi saw.:
«اَلْحَجُّ عَرَفَةُ»
Ibadah haji adalah (wukuf) di Arafah. (HR at-Tirmidzi, Ibn.
Majah, al-Baihaqi, ad-Daruquthni, Ahmad, dan al-Hakim. Al-Hakim berkomentar,
“Hadits ini sahih, sekalipun beliau berdua [Bukhari-Muslim] tidak
mengeluarkannya”).
Dalam hadits yang dituturkan oleh Husain bin al-Harits
al-Jadali berkata, bahwa amir Makkah pernah menyampaikan khutbah, kemudian
berkata:
«عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللهِ
e أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ فَإِنْ لَمْ نَرَهُ
وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا»
Rasulullah saw. telah berpesan kepada kami agar kami
menunaikan ibadah haji berdasarkan ru’yat (hilal Dzulhijjah). Jika kami tidak
bisa menyaksikannya, kemudian ada dua saksi adil (yang menyaksikannya), maka
kami harus mengerjakan manasik berdasarkan kesaksian mereka. (HR Abu Dawud,
al-Baihaqi dan ad-Daruquthni. Ad-Daruquthni berkomentar, “Hadits ini isnadnya
bersambung, dan sahih.”).
Hadits ini menjelaskan: Pertama, bahwa pelaksanaan ibadah
haji harus didasarkan kepada hasil ru’yat hilal 1 Dzulhijjah, sehingga kapan
wukuf dan Idul Adhanya bisa ditetapkan. Kedua, pesan Nabi kepada amir Makkah,
sebagai penguasa wilayah, tempat di mana perhelatan haji dilaksanakan, untuk
melakukan ru’yat; jika tidak berhasil, maka ru’yat orang lain, yang menyatakan
kesaksiannya kepada amir Makkah.