Minggu, 11 Desember 2011

Allah Ta’ala berfirman dalam sebagian kitabNya

Allah Ta’ala berfirman dalam sebagian kitabNya: “Qalbu-qalbu itu di TanganKu, Cinta ada di Rahasia perbendaharanKu. Kalau bukan karena CintaKu pada hambaKu, pastilah hambaKu tak mampu mencintaiKu. Dan kalaulah bukan karena DzikirKu di zaman azali kepada hambaKu, ia tak bakal mampu berdzikir kepadaKu. Kalaulah bukan karena kehendakKu padanya di zaman Qadim dahulu, hambaKu tak akan bisa berkehendak padaKu.”

Cuplikan dari buku: Menjelang Ma'rifat - Syeikh Ahmad ar-Rifa'y

ALLAH "TINGGAL" BERSAMA ORANG-ORANG LEMAH DAN TERTINDAS

Ada sebuah cerita yang sangat menarik. Ada seorang sufi yang setiap kali bersedekah ia selalu mencium tangannya. Muridnya terheran-heran dan bertanya, “Guru, kenapa setiap kali memberi sedekah engkau selalu mencium tanganmu?” Jawab guru, “Setiap kali memberi sedekah, sebelum uang kita sampai kepada si penerima, yang pertama kali menerimanya sebenarnya adalah Allah swt. Saat itulah aku cium tanganku, karena tanganku bersentuhan dengan “tangan” Allah. Keindahan apa lagi yang lebih indah dari itu?”
Barangkali kita masih tertanya-tanya, benarkah kalau kita bersedekah tangan kita akan bersentuhan dengan “tangan”-Nya. Entah kita harus menafsirkan bagaimana, tapi pernyataan sufi itu ternyata merupakan terjemahan langsung dari sebuah hadis qudsi, bahwa Allah memang bersama orang-orang lemah dan tertindas.

Kita simak bunyi hadis qudsinya: Kelak dihari kiamat Allah berkata: “Hai anak Adam, kenapa waktu Aku sakit engkau tidak menjenguk-Ku? Orang itu menjawab: “Wahai Tuhan, bagaimana aku menjenguk-Mu padahal Engkau Tuhan semesta alam. Allah menjawab: “Tahukah engkau waktu fulan sakit engkau tidak menjenguknya ? Tidak tahukah engkau sekiranya waktu itu engkau menjenguknya niscaya engkau akan menemukan-Ku. Wahai manusia, kenapa engkau tidak memberi-Ku makan?” “Bagaimana mungkin aku memberi-Mu makan padahal Engkau Tuhan semesta alam?” jawabanny, kata Tuhan, “Waktu itu ada seorang hamba-Ku yang meminta makan kepadamu, tapi engkau tidak memberinya. Tahukah engkau sekiranya engkau memberi makan kepadanya, niscaya engkau menemukan Aku disana. Wahai manusia, engkau meminta minum kepada-Ku tapi engkau tidak memberi minum kepada-Ku.” “Wahai Tuhan, bagaimana mungkin aku memberi minum kepada-Mu padahal Engkau adalah Tuhan semesta alam.” “Ada seorang hamba-Ku yang meminta minum kepadamu tapi engkau menolaknya. Tahukah engkau sekiranya engkau memberinya minum niscaya engkau menemukan-Ku disana.”

Apa makna kalimat hadis qudsi diatas ? Luas sekali. Didalam konteks teologi, ia bisa berarti sindiran Tuhan kepada manusia yang tengah lupa. Bahkan Tuhan sendiri merasa perlu untuk merendahkan diri dihadapan manusia yang sedang tinggi hati. Bagaimana mungkin pemilik seluruh alam semesta ini bisa menjadi pihak yang begitu merindui milik-Nya sendiri yang jelas-jelas berada dalam genggaman, yang sekali hentak alam raya ini akan menjelma serupa bulu-bulu yang berterbangan.

Jadi, betapa berbahaya penyakit tinggi hati itu. Karena ia bisa membalik pandangan yakni betapa yang rendah terlihat sebagai tinggi.
Lebih jauh, ungkapan sufi itu juga ternyata adalah ungkapan lain dari AL-quran. Dalam surah AL-Muzammil, Allah memang menyatakan dirinya sebagai wakil kaum papa yang sangat memerlukan uluran tangan kita. Firman Allah:
“dan dirikanlah salat, tunaikan zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik.” (QS AL-Muzammil {73}: 20).
Rangkaian perintah dalam ayat ini (salat, zakat,dan sedekah), menurut Ibn Arabi, menunjukan bahwa amal sosial kita tidak cukup hanya dengan zakat wajib saja, tetapi lebih dari itu sebenarnya “wajib” kita berikan kepada Allah, yakni kepada mereka yang memerlukan (Ibn Arabi, Futuhat AL-Makkiyah, j. 2: Asraruzzakat).
Didepan ayat ini, sangatlah naïf orang yang merasa cukup beramal hanya dengan zakat saja, padahal disana-sini masih banyak bertebaran kaum papa yang serba kekurangan. Di Indonesia karena kemiskinan, ada jutaan keluarga hidup tanpa induk rumah tangga, ada suami tanpa isteri, ada anak-anak tanpa ibu, selama bertahun-tahun.
Tak butuh menjadi psikolog untuk mengerti betapa rapuh kedudukan keluarga semacam itu. Tak butuh seksolog untuk memahami betapa mungkin seorang suami kuat ditinggal istri sekian lama untuk sehat secara hormonal.

Ia akan menjadi suami yang gerah diam-diam. Dan didalam kegerahan itu ia bisa semborono dalam merawat anak-anaknya, bisa uring-uringan setiap kali mengatasi keinginan jiwanya sendiri. Kepada anak-anak akan mudah menjadi kesepian dan akhirnya tumbuh liar sebagai kompensasi. Anak-anak tanpa kehangatan ibu dan bapak ini akan mencari kebahagiaannya sendiri dengan cara apa saja. Dan sesekali saja jiwa manusia itu berjalan ke arah yang keliru, bencana telah menunggu di ujung sana.

Jutaan keluarga di Indonesia terancam menjadi lumpuh dan sulit menjalankan roda organisasinya. Setiap seorang ibu keluar, dalam tempo yang cukup lama, ia akan tengah bersiap meninggalkan keluarganya sebagai organisasi yang cacat. Dan kampung-kampung yang tidak dijaga oleh para wanita sebagai pelindung terbaik keluarga, akan menjadi kampung yang kering dan ganas lalu kehilangan produktifitasnya.
Dengan memperhatikan nash-nash diatas nyatalah bahwa Allah memang “tinggal” bersama mereka, dan sebagai khalifah-Nya kitapun wajib tinggal bersama mereka, memperhatikan nasib bahkan sehidup semati dengan mereka, persis seperti yang telah dilakoni Rasullah saw: “Carilah aku diantara orang-orang yang lemah diantara kalian!” Ya, kalau rasul sebagai sufi yang paling agung itu merupakan penjelmaan (locus/majla) Tuhan, kita memang harus mencari Tuhan diantara mereka.

Terakhir, ada baiknya kita renungkan sebuah doa agar kita diberi kemampuan untuk selalu menyayangi mereka, sebuah doa yang sangat puitis dan indah: Allahummarzuqni rahmata liaitam, wa ith ‘aamaththa’aam, wa isyfaa assalaam, wa suhbatal kiram, bithaulika ya malja’al ‘amilin. Ya Allah, anugerahilah aku dengan kemampuan menyayangi anak-anak yatim, memberi makan fakir miskin, menyebarkan salam, bersahabat dengan orang-orang mulia, dengan anugrah-Mu wahai Zat tempat berlindung orang-orang yang berharap. Wallahu a’lam.

Ada banyak persoalan dengan begitu banyak pengingkaran. Itulah yang membuat kita tidak cuma sakit, tetapi sekaligus kesepian. Jika cuma menderita, kita sebetulnya kuat menghadapinya. Yang tidak kuat ialah ketika kita sedang sakit sekaligus sedang merasa ditinggalkanTuhan ! Dalam hadis qudsi, Allah swt. Berfirman, “Carilah karunia Allah dengan mendekati orang yang dekat dengan orang miskin. Karena pada merekalah Aku jadikan keridhaan-Ku.”

Tuhan tak pernah tidur dan komputernya tetap menyala terus bukan cuma 24 jam melainkan sepanjang masa yang tak kita ketahui berapa milyar tahun lamanya. Dan Dia yang tak pernah tidur itu pula yang diam-diam bersembunyi dibalik singgasana kemiskinan umatnya itu rupa-rupanya Tuhan berpihak pada si miskin.
Kaum Muslimat dan Muslimin yang shaleh dan tulus diundang Tuhan secara khusus untuk lebih mengasah kepekaan jiwa dan meningkatkan kepekaan sosial dan, kalau bisa, diharap bersikap asketik atau zuhud, sikap hidup hemat didunia demi tabungan akherat. Ikut menikmati dunia tapi tak didikte oleh dunia yang ibarat kata cuma sekejap mata karena ada janji alam keabadian atau hidup kekal dibalik dunia fana ini.
Muslimin dan Muslimat yang shaleh, tulus dan zuhud, diketuk hatinya oleh Tuhan untuk menoleh kekiri dan kekanan, kesemua tempat dimana si miskin bermukim. Dan mereka pun diingatkan bahwa dalam kekayaan mereka terdapat hak si miskin yang tak bisa mereka ingkari.

Oleh: Ust Ramli Izhaque

Rabu, 30 November 2011

Asal usul taat dan maksiat


Keluarlah dirimu dari sifat-sifat nafsu kemanusiaan mu, sifat-sifat yang bisa merusak ubudiyah mu, agar panggilan Allah bisa di respon positif dan kedekatan dengan Allah senantiasa hadir.
Sehari-hari kita sering mengucapkan kata-kata seperti "......itukan manusiawi...", atau wajarlah kita sebagai manusia...dsb.
Yang sesungguhnya merupakan ekspresi dari sisi-sisi nafsu kita yang bicara, ketika kita mencari dalih pembenaran atas kesalahan kita.
Sifat-sifat manusiawi yang sering kita jadikan alibi , itulah yang sesungguhnya berkembang secara negatif dalam pertumbuhan spiritual kita. pada saat yang sama jelas menghambat hubungan kita degan Allah swt.
Hikmah di atas sebagai kelanjutan dari masalah hijab, masalah yang menghalangi pandangan mata hati kita kepada Allah. Oleh sebab itu element yang perlu di angkat berikutnya tentu bagaimana seseorang bisa keluar dari hijab dirinya sendiri, yg bersarang pada sifat-sifat manusiawi diatas.
Menurut Syeikh Zaruq, sifat-sifat manusiawi itu terbagi menjadi 2 bagian:
Pertama: Sifat-sifat relevan dengan Ubudiyah, seperti sifat ta'at, menjaga jiwa, maupun sifat yang terpuji.
Kedua: Sifat yang bisa merusak Ubudiyah sperti maksiat, syahwat dan ke alpaan.
Dimaksudkan keluar dari sifat manusiawi adalah sifat yang mendorong seseorang untuk alpa, maksiat dan syahwat. itulah yang merusak (destruktif) terhadap ibadah. sekaligus juga menjauhkan kehadiran Ilahi di hari kita.
Keluarnya "Diri" itu merupakan syarat dari panggilan Ilahi.
Orang yang di penuhi oleh hawa nafsunya tidak akan mendengar panggilan Ilahi dan cenderung melempar jauh-jauh suara Ilahiyah itu. Misalnya panggilanNya: "Wahai orang-orang beriman....Wahai Ummat manusia...Wahai Nabi....Wahai Insan... dsb. Yang senantiasa bergema di telinga hati kita.
Ja'far ash-Shadiq ra, pernah berkata bila kamu mendengar panggilan: "Wahai orang-orang beriman....., maka simaklah, sebab panggilan itu berisi perintah atau larangan". Jawaban atas Ilahi itu terbagi dalam 3 hal:
- Membenarkan
- Mengamalkannya
- Hasratnya hanya untuk Allah dalam mengamalkannya itu.
Sultonul Aulia Syeikh Abul Hasan As-Syadzily, menegaskan, "Apabila Allah memuliakan hambanya dalam gerak dan diamnya maka Allah memberikan bagian Ubudiayahnya hanya untuk Allah dalam pandangan hatinya, sedangkan bagian-bagian gerak hawa nafsunya di tutupi". Allah menjadikan si hamba itu senantiasa keluar masuk, bolak-balik dalam situasi Ubudiyah sementara hasrat hawa nafsunya tertutupi oleh nuansa yang berlangsung dalam takdir yang menyelimuti, bahkan sama sekali tidak berpaling pada nfsu itu.
Sebaliknya apabila Allah merendahkan seorang hamba dalam gerak dan diamnya maka hasrat nafsunya di buka dan hasrat Ubudiyahnya di tutup, lalu hamba itu berputar-putar pada syawat nafsunya, sedangkan Ubudiyahnya seakan-akan lepas dari dirinya. Walaupun kelihatan secara lahiriyah dia beribadah.
Dari sinilah Ibnu Atha'ilah melanjutkan bahwa nafsu itulah sumber segala bencana.
"Asal usul maksiat, syahwat dan kealpaan, adalah kerelaan kita pada nafsu".
Apakah maksiat itu? maksiat adalah tindakan yang meyimpang dari perintah Allah dan menerjang laranganNYA. Sedangkan menuruti hawa nafsu itu berarti menyalurkan kompensasi nafsu untuk mencari kesenangan. Sementara di maksud dengan kealpaan adalah mengabaikan tindakan sunnah dan wajib, begitu juga ketika melakukan kewajiban disertai orientasi hawa nafsu, tergolong kealpaan pula.
Kerelaan terhadap hawa nafsu itu tanda-tandanya ada 3:
- Melihat kebenaran menurut selera dirinya.
- Memanjakan nafsu.
- Memejamkan mata dari aib-aib nafsu itu sendiri. Sehingga jauh dari penyucian jiwa.
Sebaliknya asal-usul ketaatan, mawas diri dan sadar diri adalah ketidakrelaan pada nafsu. Tanda ketidakrelaan kita pada nafsu adalah :
- Curiga pada siasat nafsu.
- Waspada pada bahayanya.
- Dan menekan nafsu dalam berbagai kesempatan.
Abu Hafs Al-Haddad ra, berkata siapa yang tidak curiga pada nafsunya sepanjang waktu, tidak menetangnya dalam semua prilaku, tidak menekannya padahari-harinya, maka orang itu telah terpedaya. Siapa yang memandang nafsu itu denagn pandangan yang indah, maka nafsu itu telah menghancurkan dirinya. Bagaimana orang yang waras akalnya akan rela pada nafsunya.


Oleh: KH. M luqman Hakim MA

Karomah Bukan Derajat Luhur


“Tidak setiap orang yang memiliki keistemewaan itu sempurna kebersihan batin dan keikhlasannya.”
Saat ini publik ummat sering menilai derajat luhur seseorang dari kehebatan-kehebatan ilmu dan karomahnya. Syeikh Abu Yazid al-Bisthamy pernah didatangi muridnya, yang melaporkan karomah dan kehebatan seseorang.
“Dia bisa menyelam di lautan dalam waktu cukup lama…”
“Saya lebih kagum pada paus di lautan…”
“Dia bisa terbang…!” kata muridnya.
“Saya lebih heran, burung kecil terbang seharian…karena kondisinya memang demikian,” jawabnya.
“Lah, dia ini bisa sekejap ke Mekkah…”
“Saya lebih heran pada Iblis sekejap bisa mengelilingi dunia…Namun dilaknat oleh Allah.”
Suatu ketika orang yang diceritakan itu datang ke masjid, tiba-tiba ia meludah ke arah kiblat.
“Bagaimana ia menjaga adab dengan Allah dalam hakikat, sedangkan adab syariatnya saja tidak dijaga..” kata beliau.
Banyak orang yang mendalami ilmu pentetahuan, mampu membaca dan mengenal dalil, kitab-kitab, bahkan memiliki keistemewaan, tetapi banyak pula diantara mereka tidak bersih hatinya, tidak ikhlas dalam ubudiyahnya.
Begitu pula ketika karomah dan tanda-tanda yang hebat itu disodorkan pada Sahl bin Abdullah at-Tustary, ra, beliau balik bertanya, “Apa itu tanda-tanda? Apa itu karomah? Itu semua akan sirna dengan waktunya. Bagiku orang yang diberi pertolongan Allah swt untuk merubah dari perilakunya yang tercela menjadi perilaku yang terpuji, lebih utama dibanding orang yang punya karomah seperti itu.”
Sebagian Sufi mengatakan, “Yang mengagumkan bukannya orang yang memasukkan tangan ke kantong sakunya, lalu menafkahkan apa saja dari kantong itu. Yang mengagumkan adalah orang yang memasukkan tangannya ke kantong sakunya karena merasa ada sesuatu yang disimpan di sana. Begitu ia masukkan tangannya ke sakunya, sesuatu itu tidak ada, namun dirinya tidak berubah (terkejut) sama sekali.”
Jadi karomah itu sesungguhnya hanyalah cara Allah memberikan pelajaran kepada yang diberi karomah agar perjalanan ruhaninya tidak berhenti, sehingga semakin menajak, semakin naik, bukan untuk menunjukkan keistimewaanya.
Yang istimewa adalah Istiqomah. Karena itu para Sufi menegaskan, “Jangan mencari karomah, tetapi carilah Istiqomah.” Sebab istiqomah itu lebih hebat dibanding seribu karomah. Dan memang, hakikat karomah adalah Istiqomah itu sendiri.
Bahkan Imam Al-Junayd
al-Baghdady pernah mengingatkan, betapa banyak para Wali yang terpleset derajatnya hanya karena karomah.
Syeikh Abdul Jalil Mustaqim pernah mengatakan, ketika anda diludahi seseorang dan anda sama sekali tidak marah, itulah karomah, yang lebih hebat dibanding karomah yang lainnya.
Ketika dalam sebuah perkumpulan Thariqat Sufi, tiba-tiba ada seseorang datang, dan langsung membicarakan kehebatan ilmu ini dan itu, karomah si ini dan si itu. Lalu seseorang diantara mereka menegur,
“Mas, kalau di sini, ilmu-ilmu seperti yang anda sampaikan tadi hanya dinilai sampah. Jadi percuma sampean bicara sampah di sini…” kenapa ilmu itu bagaikan sampah ? karena di dalam pengamalanya sama sekali tidak ada LILLAH nya...tidak lebih hanya demi agar bisa ini..bisa itu...
Ada seseorang disebut-sebut sebagai Wali:
“Wah dia itu wali, bisa baca pikiran orang, dan kejadian-kejadian yang pernah kita lakukan walau pun sudah bertahun-tahun lamanya…”
“Lah, orang yang punya khadam Jin juga bisa diberi informasi oleh Jinnya tentang kejadian yang lalu maupun yang akan datang… Jadi hati-hati…”
“Beliau itu keturunan seorang Ulama besar..”
“Tidak ada jaminan nasab itu, nasibnya luhur di hadapan Allah…”
Dan panjang sekali kajian soal karomah dan kewalian ini, yang butuh ratusan halaman. Tetapi kesimpulannya, seseorang jangan sampai mengagumi kehebatan lalu mengklaim bahwa kehebatan itu menunjukkan derajat di depan Allah. Tidak tentu sama sekali.


KH M Lukman Hakiem MA

Selasa, 08 November 2011

Islam & Tasawuf: Kenapa Amalan di Terima ?

Islam & Tasawuf: Kenapa Amalan di Terima ?

Kenapa Amalan di Terima ?


“Kalau bukan karena indahnya tutupnya Allah swt, maka tak satu pun amal diterima.” Kenapa demikian? Sebab nafsu manusia senantiasa kontra dengan kebajikan, oleh sebab itu jika mempekerjakan nafsu, haruslah dikekang dari sifat atau karakter aslinya.

Dalam firmanNya: “Siapa yang yang menjaga nafsunya, maka mereka itulah orang-orang yang menang dan bahagia.”(Al-Hasyr 9)

Nafsu, ketika masuk dalam kinerja amaliah, sedangkan nafsu itu dasarnya adalah cacat, maka yang terproduksi nafsu dalam beramal senantiasa cacat pula. Kalau toh dinilai sempurna, nafsu masih terus meminta imbal balik, dan menginginkan tujuan tertentu, sedangkan amal itu inginnya malah ikhlas. Jadi seandainya sebuah amal diterima semata-mata bukan karena amal ansikh, tetapi karena karunia Allah Ta’ala pada hambaNya, bukan karena amalnya.

Abu Abdullah al-Qurasyi ra mengatakan, “Seandainya Allah menuntu ikhlas, maka semua amal mereka sirna. Bila amal mereka sirna, rasa butuhnya kepada Allah Ta’ala semakin bertambah, lalu mereka pun melakukan pembebasan dari segala hal selain Allah swt, apakah berupa kepentingan mereka atau sesuatu yang diinginkan mereka.”

Oleh sebab itu Ibnu Athaillah melanjutkan:
“Anda lebih butuh belas kasihan Allah swt, ketika anda sedang melakukian taat, dibanding rasa butuh belas kasihNya ketika anda melakukan maksiat.” Kebanyakan manusia memohon belas kasihan kepada Allah Ta’ala justru ketika ia menghadapi maksiat, dan merasa aman ketika bisa melakukan taat ubudiyah. Padahal justru yang lebih dibutuhkan manusia adalah Belas Kasih Allah ketika sedang taat. Karena ketika sedang taat, para hamba sangat rawan “taat nafsu”, akhirnya seseorang terjebak dalam ghurur, atau tipudaya dibalik amaliyahnya sendiri.

Rasulullah saw, bersabda:
“Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada salah seorang Nabi dari para NabiNya: “Katakanlah kepada hamba-hambaKu yang tergolong shiddiqun, jangan sampai mereka tertimpa tipudaya. Sebab Aku, bila menegakkan keadilanKu dan kepastian hukumKu kepada mereka, Aku akan menyiksa mereka, tanpa sedikit pun aku menzalimi mereka. Dan katakanlah kepada hambaKu yang ahli dosa, janganlah mereka berputus asa, sebab tak ada dosa besar bagiKu manakala Aku mengampuninya.”

Bahkan Abu Yazid al-bisthami ra mengatakan: “Taubat dari maksiat bisa sekali selesai, tetapi taubat karena taat bisa seribu kali pertaubatan.”
Mengapa kita harus lebih waspada munculnya dosa dibalik taat? Karena nafsu dibalik maksiat itu jelas arahnya, namun nafsu dibalik taat sangat lembut dan tersembunyi.
Diantara nafsu dibalik taat yang menimbulkan dosa dan hijab antara lain:
1. Mengandalkan amal ibadahnya, lupa kepada Sang Pencipta amal.
2. Bangga atas prestasi amalnya, lupa bahwa yang menggerakkan amal itu bukan dirinya, tetapi Allah swt.
3. Selalu mengungkit ganti rugi, dan banyak tuntutan dibalik amalnya.
4. Mencari keistemewaan amal, hikmah dibalik amal, lupa pada tujuan amalnya.
5. Merasa lebih baik dan lebih hebat dibanding orang yang belum melakukan amaliyah seperti dirinya.
6. Seseorang akan kehilangan kehambaannya, karena merasa paling banyak amalnya.
7. Iblis La’natullah terjebak dalam tipudayanya sendiri, karena merasa paling hebat amal ibadahnya.
8. Menjadi sombong, karena ia berbeda dengan umunya orang.
9. Yang diinginkan adalah karomah-karomah amal.
10. Ketika amalnya diotolak ia merasa amalnya diterima.


KH M Luqman Hakiem MA

Sang Pengelana (NIKMATNYA SELINGKUH - MUAKNYA DOSA)

Taman Jiwa kaum Sufi


NIKMATNYA SELINGKUH MUAKNYA DOSA Selingkuh itu nikmat, “kata para peselingkuh. Kenapa? Sebab dalam peselingkuhan ada tantangan dan petualangan. Dalam petualangan, ada pemanjaan terhadap nafsu yang dikeluarkan dari kerangkeng kebenaran dan kejujuran. Lalu ada dosa yang dijubahi oleh rasa takut dan khawatir. Ada rasa nikmat yang disembunyikan dlam kesemuan dan penyimpangan. Itulah nikmatnya kegelapan. Dalam statistic perselingkuhan pria lebih menonjol. Walaupun sesungguhnya para wanita juga menginginkan perselingkuhan ketika rumah tangganya mulai tidak harmonis. Pria pun berselingkuh disebabkan adanya factor elementer dalam hubungan suami istri mulai keropos. Ada yang berselingkuh karena sekedar iseng, atau menikmati kejenuhan. Ada juga yang berselingkuh dengan serius sampai tenggelam dalam selimut nafsunya. Ada yang berselingkuh karena memang ia petualang eksotis. Ada yang berselingkuh karena persellingkuhan tidak lagi menjadi norma tetapi memang menjadi bagian dari ideology liberalisme. Dan yang paling aneh adalah jika berselingkuh itu sebagai status social dan label kejantanan. Rumahku adalah syurgaku. Kata itu paling popular dalam agama. Elemen-elemen surgawi di era modern telah sirna dari tiang-tiang penyangganya. Para penghuni rumah itu telah merobohkan sendiri melalui pengeroposan psikologisnya setiap saat, setiap hari, setiap minggu dan seterusnya. Lalu roboh diam-diam. Bahkan kekecewaan itu ia bangun dengan kekecewaan berikutnya, peselingkuhan. Tetapi, sesungguhnya juga bukan karena surga rumah tangga yang utuh itu dirobohkan oleh penghuninya. Namun juga oleh tetangga, teman kantor, eksotisme di luar, industri eksotisme, dan fasilitas yang memanjakan. Sudah waktunya pasangan-pasangan membangun masa depan muthmainnah (ketentraman dan kedamaian). Syaratnya sederhana, memulai pandangan hidup dengan mengembalikan usaha, ikhtiar dan kegagalan kepada Allah. Ketentraman dan kedamaian akan terus sirna manakala jiwa Anda tidak pernah kembali kepada Allah sebagai tujuan hidup. Bahkan ketika Anda masih mengembalikan prestasi yang Anda peroleh saat ini sebagai upaya dan daya Anda sendiri. Bukan sebagai anugerah Allah dan Anda pun akan terus tergoda oleh perselingkuhan. Perselingkuhan, karenanya adalah eksploitasi dari nafsu lawwamah. Nafsu yang ambisius terhadap hal-hal yang hedonis, meterialistis dan kemewahan lainnya. Apalagi dunia lawwamah telah muncul dalam tawaran pesonanya melalui goyang para persikmania, pusar, perut para wanita, seksisme yang berbunga di sejuta trotoar dan etalase, dalam prostitusi kebudayaan kita. Ibu-ibu sangat membenci perselingkuhan. Kaum perempuan lajang yang sedang berpacaran juga paling benci dan dendam dengan perselingkuhan. Dan sesungguhnhya, kaum pria juga membencinya setengah mati jika pasangannya berselingkuh. Tetapi kesimpulan dari semua perselingkuhan di dunia ini hanya karena seluruh pasangan telah kehilangan Tuhan dalam harmoninya. Membangun kejujuran itu sulit. Menjadi tidak sulit ketika Anda mulai belajar jujur. Jujurlah kepada Allah dengan mengatakan apa adanya kepada-Nya. Minus dan plus diri Anda. Katakan dosa-dosa Anda kepada Allah niscaya Allah memeluk Anda dengan pelukan yang lebih membahagiakan ketimbang keinginan bahagia semu si balik perselingkuhan.

Sabtu, 05 November 2011

Penetapan Idul Adha

Bahwa bila umat Islam meyakini, bahwa pilar dan inti dari ibadah Haji adalah wukuf di Arafah, sementara Hari Arafah itu sendiri adalah hari ketika jamaah haji di tanah suci sedang melakukan wukuf di Arafah, sebagaimana sabda Nabi saw.:

«اَلْحَجُّ عَرَفَةُ»

Ibadah haji adalah (wukuf) di Arafah. (HR at-Tirmidzi, Ibn. Majah, al-Baihaqi, ad-Daruquthni, Ahmad, dan al-Hakim. Al-Hakim berkomentar, “Hadits ini sahih, sekalipun beliau berdua [Bukhari-Muslim] tidak mengeluarkannya”).

Dalam hadits yang dituturkan oleh Husain bin al-Harits al-Jadali berkata, bahwa amir Makkah pernah menyampaikan khutbah, kemudian berkata:

«عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللهِ e أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ فَإِنْ لَمْ نَرَهُ وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا»

Rasulullah saw. telah berpesan kepada kami agar kami menunaikan ibadah haji berdasarkan ru’yat (hilal Dzulhijjah). Jika kami tidak bisa menyaksikannya, kemudian ada dua saksi adil (yang menyaksikannya), maka kami harus mengerjakan manasik berdasarkan kesaksian mereka. (HR Abu Dawud, al-Baihaqi dan ad-Daruquthni. Ad-Daruquthni berkomentar, “Hadits ini isnadnya bersambung, dan sahih.”).

Hadits ini menjelaskan: Pertama, bahwa pelaksanaan ibadah haji harus didasarkan kepada hasil ru’yat hilal 1 Dzulhijjah, sehingga kapan wukuf dan Idul Adhanya bisa ditetapkan. Kedua, pesan Nabi kepada amir Makkah, sebagai penguasa wilayah, tempat di mana perhelatan haji dilaksanakan, untuk melakukan ru’yat; jika tidak berhasil, maka ru’yat orang lain, yang menyatakan kesaksiannya kepada amir Makkah.

Sekilas Tentang Idul Adha

Idul Adha (di Republik Indonesia, Hari Raya Haji, bahasa Arab: عيد الأضحى) adalah sebuah hari raya Islam. Pada hari ini diperingati peristiwa kurban, yaitu ketika nabi Ibrahim (Abraham), yang bersedia untuk mengorbankan putranya Ismail untuk Allah, akan mengorbankan putranya Ismail, kemudian digantikan oleh-Nya dengan domba.

Pada hari raya ini, umat Islam berkumpul pada pagi hari dan melakukan salat Ied bersama-sama di tanah lapang, seperti ketika merayakan Idul Fitri. Setelah salat, dilakukan penyembelihan hewan kurban, untuk memperingati perintah Allah kepada Nabi Ibrahim yang menyembelih domba sebagai pengganti putranya.

Hari Raya Idul Adha jatuh pada tanggal 10 bulan Dzulhijjah, hari ini jatuh persis 70 hari setelah perayaan Idul Fitri. Hari ini juga beserta hari-hari Tasyrik diharamkan puasa bagi umat Islam.

Pusat perayaan Idul Adha adalah sebuah desa kecil di Arab Saudi yang bernama Mina, dekat Mekkah. Di sini ada tiga tiang batu yang melambangkan Iblis dan harus dilempari batu oleh umat Muslim yang sedang naik Haji.

Hari Idul Adha adalah puncaknya ibadah Haji yang dilaksanakan umat Muslim.

Minggu, 30 Oktober 2011

Sajian Istimewa Anti Hijab


Di Ibu Kota Kaum Sufi, tiba-tiba terpampang spanduk-spanduk yang mengiklankan menu-menu restoran para Sufi. Para penempuh mulai tersenyum hatinya, dan saling mendiskusikan, menu mana yang harus mereka kunjungi untuk makan malam. Tiba-tiba para penempuh terjengah ketika memandang spandung kecil, tapi cukup menonjol, agak tersembunyi di celah-celah spanduk besar yang ada. “Nikmati Sajian Istimewa Menu Anti Hijab.”

Para penempuh tiba-tiba hasrat ruhaninya lapar seketika, disertai dahaga yang memuncak. Qalbunya gemetar, nafsunya tunduk patuh di depan tulisan itu. Ketika membaca iklan itu, airmata mereka sudah meleleh. ”Astaghfirullahal ‘Adziim…!” begitu mereka serentak mendesahkan jiwanya.

Di depan gerbang Kafe Sufi antrian panjang sampai ribuan orang. Mereka membeli tiket khusus untuk mendapatkan “Menu Anti Hijab”, dan mereka harus membeli tiket itu dengan Puasa 10 hari lamanya, dan jika ingin dapat VIP, puasanya 41 hari, penuh dengan keikhlasan yang murni.

Yang dapat Free Pass juga ada, antara lain wartawan Cahaya Sufi, he..he..he…Walau sedikit nakal, dimaklumi, namanya juga wartawan. Tetap saja dapat perlakuan khusus.

Seorang pelayan yang elok rupawan jiwanya, mulai melayani mereka. Semakin mereka berebut, malah semakin mereka terlempar ke belakang. Karena menu ini tidak boleh dimakan dengan hawa nafsu, sebab kalau memakan dengan hawa nafsunya malah ia terhijab dan tersiksa. Bahkan siapa yang ingin coba-coba, ingin iseng, langsung terhempas dalam kehancurannya.

Para pelayan, akhirnya harus memilih, siapa yang lebih pasrah dan lebih ridho, lebih ikhlas dan lebih cinta kepada Allah swt, langsung dipersilakan.

Musik Istighfar, deru konser sholawat dan nada kalimah thoyyibah, berpadu dalam musik Kafe Sufi ini, khusus mengantar sajian-sajian menunya.

Para penatang yang tiba sebenarnya tidak ingin sekadar menikmati menu-menu di sana, tapi bagaimana caranya memasak dan resep menu di sajian istimewa kali ini.

Seorang pelayan datang menyodorkan menu-menu utama. Diatas kertas tertulis “Hijab adalah Siksaan yang menjauhkan dirmu dengan Allah.”

Lalu di kertas itu pula tertuang menu-menu sajian Anti Hijab:

Masuklah dapur menu masakan anti hijab ini dengan menutup mata kepala dari kain yang dipintal dari semesta lahir batin, agar segala hal selain Allah tertutup.

Ambillah air istighfar untuk direbus dulu dengan api kesadaran taubah.

Cucilah tangan anda dan segala alat-alat dengan air keikhlasan, dicuci dari kotoran memandang amal baik dan ibadah. Sebab memandang amal sendiri itu adalah lapisan hijab.

Buang semua rasa takjub pada diri sendiri dan hasrat selain Allah.

Masukkanlah ke dalam kendhil yang sudah mulai mendidih dan menggemuruhkan dzikrullah dibalik bunyi air mendidih itu, sejumlah dedaunan dari pohon ma’rifat, yang ditanam di bumi yaqin, dan cabang-cabangnya tumbuh menjulang ke langit Ilahi.

Jangan lupa garamnya yang dari samudera Quthubus Sab’ah (Samudera tempat berenangnya Tujuh Quthub dunia).

Beri pemanis dengan sesendok gula harapan, anugerah dan indahnya beribadah.

Nah, sekarang para konsumen mulai diingatkan agar tidak memasuki wilayah hijab yang tirainya sangat gelap gulita apalagi dibalik tirainya semakin gulita mengerikan.

Musibah terbesar manusia adalah hijab. Semua ini akan terbuka, berganti Cahaya Ma’rifah yang agung. Ketika terbuka, akal jadi cerdas, pikiran jadi jernih, hati jadi terang benderang, ruh berhembus kencang menuju Allah, dan Sirr menikimati kemesraan dengan Sang Kekasih di Kafe ini.

KH M LUKMAN HAKIEM MA 

WAHDATULWUJUD


Wujuding wijil wahyuning wangsit

Wiyoto woting waskitha kang winasis

Jajaning janma jatining jasad

Jumujuging jaladara jantra jinajah.

Amrih amining amaranti

Amina mastani mantra mastadi

Samudananing samudra samun

Sesongaran sasat susantiningrum.

Mungguh asmaning mung kanggo mupus

Dipeh prana nalika daruna dumateng

Tebining dhandhaka anyatrani

Lubering ludira anebaki daruni.

Najan hamung kinanthi sih utami

Awit diniyati tan kenging rinuyit,

Anggraitaa murih wekasanipun jrih

Muncrat handalidir mring bantala.

Tiba grahaning Hyang Suksma

Memitri awit saking nggenira

Njangkah tan angoncati

Tibaning Rohul Kudus amrih miranti.

Jinantra ontran-ontran kang amurwat

Murwating angkara murka

Nabrak, nunjang, ngobok-obok

Nggelar kadurjanan

Ngobrak-abrik tatanan

Salang-tunjang

Gede-cilik tanpa wirang.

Ana jalma mimba Gusti

Ngaku Allah sinarawedi

Ngendi ana titah padha karo Gusti

Kadunungan iblis pinasthi.

Manunggal kuwi ‘ra teges sami

Hamung celak raket ring Gusti

Hamung Allah kang pinuji-puji

Ya mung jalma najan wali.

Nyuwun ngapura mring Hyang Widhi

Wani nranyak mring Malikul’alam

Wus madhani Sing Gawe Urip
Dudu kuwi wahdatulwujud.
Sing bener kuwi ya mung aran titah
Ora samar angambrah-ambrah
Aja nerak hukume lumrah
Kawistra ora narimah.
Duh Gusti Kang Maha Lestari
Mugi kersa paring lubering pangastuti
Kang samya memesu ring karsaning Gusti

Najan sasarsusur yekti.<photo id="1" />

Jumat, 28 Oktober 2011

Syukur bersama Allah

Syeikh Ahmad ar-Rifa’y

Riwayat dari Abdullah bin Amr ra:

“Tuhanku mendidikku, dan “Rasulullah saw, masuk ke dalam rumahku, lalu bersabda, “Wahai Abdullah bin Amr, bukankan aku diberi informasi bahwa sebenarnya dirimu sangat ketat (memaksa diri) dalam sholat malam dan puasa di siang hari?”

Aku menjawab, “Saya memang melakukannya…”. 

Lalu Rasulullah saw, bersabda, “Cukuplah bagimu sebulan itu puasa tiga hari. Satu kebaikan itu sebanding dengan dengan sepuluh kebaikan, maka (jika anda melakukan puasa tiga hari setiap bulan) sama dengan puasa setahun penuh….” (Hr. Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzy, Nasa’I, Ibnu Majah, Daramy dan Ibnu Sa’d) Dia mendidik adabku dengan baik.” 

Dalam hadits ini ada rahasia-rahasia: 

1. Adanya berita gembira atas kesinambungan cahaya amal dengan cahaya amal yang lain tanpa terhenti, walau pun ada jarak waktu yang jauh. 

2. Berlipatgandanya pahala amal pada ummat ini, satu kebaikan sebanding dengan sepuluh kebaikan, agar hatinya bangkit untuk amal kebajikan. 

3. Tidak adanya keterpaksaan yang membuat si hamba jadi bosan.

4. Terus menerus berdzikir hingga hati tak tertimpa kealpaan.

5. Kepastian iman terhadap janji dan kebajikan kemuliaan Allah swt. 

Semua perilaku tersebut merupakan tingkah kaum ‘arifin yang melepaskan diri dari hasrat duniawi dan ukhrowi, dimana hasrat citanya hanyalah Tuhan mereka. Maka siapa pun yang himmahnya hanyalah Rabb, tiadalagi hasrat lain baginya.

Yahya bin Mu’adz ra, dalam munajatnya mengatakan:

“Ilahi, bila aku mengenalMu, sesungguhnya Engkau telah memberi petunjuk padaku. Jika aku mencariMu, sesungguhnya karena Engkau menghendakiKu. Jika aku datang kepadaMu, sesungguhnya Engkau memilihku. Jika aku taat padaMu, sesungguhnya karena Engkau memberi taufiq kepadaku. Dan jika aku kembali kepadaMu, itu karena Engkau menghampiriku.”

Diriwayatkan bahwa Nabi Musa as telah bermunajat:

“Oh Tuhan, bagaimana caraku bersyukur atas nikmat-nikmatMu, sedangkan setiap rambut yang tumbuh saja ada dua nikmat?”

Allah swt menjawab: 

“Wahai Musa! Bila engkau tahu bahwa dirimu sangat tak berdaya bersyukur kepadaKu, sesungguhnya engkau benar-benar telah bersyukur kepadaKu….”

Allah swt, mewahyukan kepada Nabi Dawud as:

“Bersyukurlah atas nikmatKu kepadamu…”

Nabi Dawud as, menjawab:

“Ya Allah bagaimana aku bisa bersyukur kepadaMu, sedangkan syukurku kepadaMu itu adalah nikmat teragung bagiku?”

“Bila engkau tahu itu, sebenarnya engkau hambaku paling bersyukur padaKu…” firmanNya dalam wahyu kepadanya.

Muhammad bin as-Sammak ra mengatakan, “Ingatlah kepada Dzat yang mendahului ingatNya sebelum dzikirmu, dan cintaNya sebelum cintamu. Apa pun yang kau dzikirkan tak lain jkecuali karena dzikirNya kepadamu, dan tak ada cintamu kepadaNya kecuali karena cintaNya kepadamu.”

Abu Bakr al-Wasithy ra, menegaskan, “Siapa yang lupa mengiat Allah Ta’ala berarti ia telah terkena Istidroj..”

Perlu diketahui bahwa sifat terendah dari seorang arif Billah adalah bila seseorang hatinya hidup bersama Allah tanpa ikatan apa pun, yaitu mengingat Allah, hanya kepada Allah. Hal demikian jelas, seperti dalam firmanNya, “Sesungguhnya dzikir Allah itu paling besar…”.

Dikatakan mengenai firman Allah Ta’ala:

“Sangat sedikit hamba-hambaKu yang sangat bersyukur”, artinya adalah sangat sedikit orang yang melihat anugerahKu ketika ia bersyukur kepadaKu..., Bersama Allah, kita bersyukur pada Allah.

Nabi Musa as, berkata:

“Ilahi, bagaimana Adam mampu bersyukur kepadaMu? Karena Adam Engkau cipta dari TanganMu, dan Engkau hembuskan RuhMu, dan Engkau posisikan di syurgaMu, serta Engkau perintah para malikat bersujud kepadanya, lalu mereka pun sujud?”

Allah swt, menjawab:

“Hai Musa! Adam tahu bahwa semua itu dariKu, lalu dia memuji karenanya.”

Siapa yang taat kepada Allah swt, sesungguhnya ia taat karena pertolonganNya, maka ia dapatkan anugerah. Siapa yang maksiat kepada Allah swt, maka karena bagian takdirNya yang ia maksiat kepadaNya. Bagi Allah ada hujjah baginya. AnugerahNya mendahului ketaatan hambaNya sebelum ia taat, dan keadilanNya mendahului maksiatnya sebelum ia berbuat maksiat. Karena Allah adalah Maha memberlakukan apa yang dikehendakiNya.

Dalam suatu riwayat Nabi Ibrahim as bermunajat :

“Oh Tuhanku, kalau bukan karena Engkau bagaimana aku mengenal siapa Engkau?”

Abu Abdullah ra, ditanya, “Bagaimana kami tidak senang dengan pujian dan sanjungan?”

“Semata karena lupa mengingat anugerah Allah pada kalian, lupa mengingat kebaikan pertolonganNya yang mendahuluimu. Siapa yang lupa anugerah dan ingkar nikmat, nikmat pun akan diterima sebagai derita…” jawabnya.

Anak-anakku… Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memberimu ma’rifat, dan menolongmu untuk taat kepadaNya tanpa minta balas kebaikan darimu dan tanpa minta pertolongan dari arahmu, karena itu sudah seyogyanya anda berdzikir kepadaNya dan berbakti kepadaNya tanpa minta ganti rugi dan kecukupan dariNya.”

Banyak sekali ragam kelompok ahli dzikir, diantaranya:

* Ada yang berdzikir karena tujuan meraih anugerah Islam,

* Ada yang berdzikir karena demi ashlus-Sunnah wal-Jamaah,

* Ada yang berdzikir karena adanya anugerah dibalik dzikirnya, hingga hati dan lisannya kelu, akalnya melayang, ia lebur dalam keagunganNya, bergerak dalam kemuliaanNya, hangus dalam mencintaiNya, disaat ia tahu bahwa seluruh amal itu tidak akan pernah bisa tegak kecuali bersamaNya.

Dzikir ada dua arah:

- Dzikir yang menimbulkan rasa takut dan rasa takut penuh cinta.

- Dzikir yang melahirkan rindu dan cinta.

Rasa takut dan cinta adalah dzikir bagi orang yang berdzikir bersama diri sendiri, kemudian ia melihat itu semua karena Dzikrnya Allah padanya yang menyebabkan dzikirnya kepada Allah Ta’ala, kemudian ia tahu bahwa dengan dzikrullah membuat sambung pada Dzikrinya Allah pada dirinya.

Sedangkan rindu dan cinta dibalik dzikir adalah dzikirnya orang yang mengingat Dzikrnya Allah di zaman Azali, hingga tiada maujud dan sirna diri di dunia, kemudian sampai abadi. Lalu dijumpai bahwa Ingatan Allah padanya telah ada sejak Azali, abadi selamanya. Sedangkan dzikirnya sendiri, malah tercampuri kotoran syahwat, teraduk oleh kealpaan demi kealpaan.

Maka sangat berbeda jauh antara orang yang masuk pada Allah Ta’ala dengan melihat dzikirnya sendiri, dan antara orang yang masuk kepada Allah Ta’ala dengan melihat anugerah dan kemuliaanNya. Perlu diketahui bahwa dzikirnya hamba kepada Allah Ta’ala, jika dibandingkan dengan penyandaran dzikirnya Allah Ta’ala pada si hamba, ibarat debu di bawah derasnya hujan.

Dengan dzikir kepadaMu hiduplah ejekanku hai pengkhayal Dan dengan DzikirMu kepadaku mendahului dzikirku sungguh teragung!

Engkau beri anugerah besar, hingga aku tak mampu mensyukurinya Manalagi anugerah elokMu yang mampu kusyukuri? 


 KH M Lukman Hakiem MA