Minggu, 30 Oktober 2011

Sajian Istimewa Anti Hijab


Di Ibu Kota Kaum Sufi, tiba-tiba terpampang spanduk-spanduk yang mengiklankan menu-menu restoran para Sufi. Para penempuh mulai tersenyum hatinya, dan saling mendiskusikan, menu mana yang harus mereka kunjungi untuk makan malam. Tiba-tiba para penempuh terjengah ketika memandang spandung kecil, tapi cukup menonjol, agak tersembunyi di celah-celah spanduk besar yang ada. “Nikmati Sajian Istimewa Menu Anti Hijab.”

Para penempuh tiba-tiba hasrat ruhaninya lapar seketika, disertai dahaga yang memuncak. Qalbunya gemetar, nafsunya tunduk patuh di depan tulisan itu. Ketika membaca iklan itu, airmata mereka sudah meleleh. ”Astaghfirullahal ‘Adziim…!” begitu mereka serentak mendesahkan jiwanya.

Di depan gerbang Kafe Sufi antrian panjang sampai ribuan orang. Mereka membeli tiket khusus untuk mendapatkan “Menu Anti Hijab”, dan mereka harus membeli tiket itu dengan Puasa 10 hari lamanya, dan jika ingin dapat VIP, puasanya 41 hari, penuh dengan keikhlasan yang murni.

Yang dapat Free Pass juga ada, antara lain wartawan Cahaya Sufi, he..he..he…Walau sedikit nakal, dimaklumi, namanya juga wartawan. Tetap saja dapat perlakuan khusus.

Seorang pelayan yang elok rupawan jiwanya, mulai melayani mereka. Semakin mereka berebut, malah semakin mereka terlempar ke belakang. Karena menu ini tidak boleh dimakan dengan hawa nafsu, sebab kalau memakan dengan hawa nafsunya malah ia terhijab dan tersiksa. Bahkan siapa yang ingin coba-coba, ingin iseng, langsung terhempas dalam kehancurannya.

Para pelayan, akhirnya harus memilih, siapa yang lebih pasrah dan lebih ridho, lebih ikhlas dan lebih cinta kepada Allah swt, langsung dipersilakan.

Musik Istighfar, deru konser sholawat dan nada kalimah thoyyibah, berpadu dalam musik Kafe Sufi ini, khusus mengantar sajian-sajian menunya.

Para penatang yang tiba sebenarnya tidak ingin sekadar menikmati menu-menu di sana, tapi bagaimana caranya memasak dan resep menu di sajian istimewa kali ini.

Seorang pelayan datang menyodorkan menu-menu utama. Diatas kertas tertulis “Hijab adalah Siksaan yang menjauhkan dirmu dengan Allah.”

Lalu di kertas itu pula tertuang menu-menu sajian Anti Hijab:

Masuklah dapur menu masakan anti hijab ini dengan menutup mata kepala dari kain yang dipintal dari semesta lahir batin, agar segala hal selain Allah tertutup.

Ambillah air istighfar untuk direbus dulu dengan api kesadaran taubah.

Cucilah tangan anda dan segala alat-alat dengan air keikhlasan, dicuci dari kotoran memandang amal baik dan ibadah. Sebab memandang amal sendiri itu adalah lapisan hijab.

Buang semua rasa takjub pada diri sendiri dan hasrat selain Allah.

Masukkanlah ke dalam kendhil yang sudah mulai mendidih dan menggemuruhkan dzikrullah dibalik bunyi air mendidih itu, sejumlah dedaunan dari pohon ma’rifat, yang ditanam di bumi yaqin, dan cabang-cabangnya tumbuh menjulang ke langit Ilahi.

Jangan lupa garamnya yang dari samudera Quthubus Sab’ah (Samudera tempat berenangnya Tujuh Quthub dunia).

Beri pemanis dengan sesendok gula harapan, anugerah dan indahnya beribadah.

Nah, sekarang para konsumen mulai diingatkan agar tidak memasuki wilayah hijab yang tirainya sangat gelap gulita apalagi dibalik tirainya semakin gulita mengerikan.

Musibah terbesar manusia adalah hijab. Semua ini akan terbuka, berganti Cahaya Ma’rifah yang agung. Ketika terbuka, akal jadi cerdas, pikiran jadi jernih, hati jadi terang benderang, ruh berhembus kencang menuju Allah, dan Sirr menikimati kemesraan dengan Sang Kekasih di Kafe ini.

KH M LUKMAN HAKIEM MA