Kamis, 06 Oktober 2011

Ruh Ma'rifat


Dari Anas bin Malik ra: Rasulullah Saw, bersabda:

“Islam itu jelas (lahiriah), dan Iman itu ada dalam qalbu, sedangkan Taqwa di sini.”

Rasulullah Saw, mengulang sampai tiga kali sambil menunjuk dengan tangannya ke arah dada beliau. Taqwa yang menetap di qalbu, lalu membuat iman menjadi kokoh, adalah ruh ma’rifat itu sendiri.”

Saudaraku yang mulia! Sesungguhnya Allah Swt, menjadikan segalanya dengan kepastian, dan setiap kepastian itu ada batasan, dan setiap batasan ada sebabnya, setiap sebab ada waktunya, dan setiap waktu ada ketentuannya, setiap ketentuan ada perintah, setiap perintah ada makna, dan setiap makna ada benarnya, setiap yang benar ada kebenarannya, dan setiap kebenaran ada hakikatnya, setiap hakikat ada ahlinya, dan setiap ahlinya ada tandanya.

Dengan tanda itu bisa diketahui siapa yang berbuat benar dan siapa yang berbuat batil. Setiap qalbu didudukkan di hamparan perwujudan ma’rifat, dimana kema’rifatan itu memantul pada wajahnya dan berpengaruh pada gerak gerik lahiriahnya, tindakan dan ucapannya, sebagaimana firman Allah Swt :

“Kamu sekalian mengenal mereka dengan tanda-tanda mereka.”

Rasulullah Saw, bersabda:

“Siapa yang menyembunyikan rahasia jiwa, Allah memakaikan padanya pakaian rahasia jiwa. Jika ia baik, maka menjadi baik. Jika ia buruk, maka jadi buruk.”

Sebaik-baik pekerti: Kaum Sholihin

Yahya bin Mu’adz ra, ditanya, “Bagaimana pekerti kaum ‘arifin bisa menjadi elok wajahnya, dan lebih kharismatik dibanding yang lain?”

“Karena mereka menyendiri bersama Allah penuh dengan kemesraan. Mereka mendekat kepada Allah Swt, menghadap total, dan berangkat kepadaNya penuh kepatuhan. Maka Allah Swt, memberikan pakaian cahaya ma’rifatNya kepada mereka, yang didalamNya mereka bicara, dan bagiNya mereka beramal, dariNya mereka mencari, kepadaNya mereka bersukacita. Merekalah kaum istimewaNya (khawash) yang terdepan. Langkahnya dalam taat kepada Allah Swt, tanpa sedikit pun bergantung pada lainNya, dan mereka menasehati khalayak umum tanpa sedikit pun ada pamrih.

Mereka senantiasa merindu, kembali kepada Allah Swt, qalbunya penuh rasa takut, jiwanya penuh rasa gentar, hati mereka adalah IstanaNya, akal mereka terselubungi, ruh mereka membubung luhur, dan semuanya terlindungi dengan hatinya dari fitnah manusia.

Dzikir mereka menjaganya dari was-was buruk, dadanya melapang luas, dan jasadnya terbuang dari khalayak, qalbunya terluka, sedang pintu-pintu alam malakut senantiasa terbuka bagi mereka. Qalbu mereka bagai pelita. Anggota badan mereka tunduk bagai terikat kuat, lisannya sibuk membaca Al-Qur’an, romannya menguning karena ketakutan akan jauh dari Allah Swt, dan jiwanya tercurah bagi khidman pada Ar-Rahman, hatinya terpancarkan cahaya iman, jiwanya sibuk mencari, ruhnya sibuk mendekat Tuhan. Sedang pada ucapannya ada sifat menunjukkan kepada Ketuhanan Allah Swt, pada tiang-tiang dirinya penuh kelanggengan khidmah, dan pada jiwanya ada pengaruh kehambaan, dalam hatinya ada kharisma Fardaniyah, dalam rahasia batinnya ada hasrat membubung ke Uluhiyah, sedang dalam ruhnya ada keterpesonaan pada Wahdaniyah.

Bergantungnya kaum ‘arifin dengan Allah swt.

Bibir-bibir mereka senantasa tersenyum kepadaNya. Mata mereka senantiasa memancar kepadaNya. Qalbu-qalbu mereka terus bergelayut kepada Allah Swt, hasrat mereka sinambung kepadaNya, rahasia batin mereka terus menerus memandangNya. Mereka melemparkan dosa-dosa mereka ke samudera taubat, dan mereka menghamburkan kepatuhannya ke samudera anugerah. Mereka buang gerak gerik batinnya ke lautan Keagungan. Dan kehendak mereka terlempar ke lautan sucinya jiwa, bahkan hasrat mereka adalah samudera mahabbah.

Di medan khidmah kepadaNya mereka berlalu lalang. Di bawah payung kemuliaan mereka saling merenda keindahan.

Dan di taman rahmatNya mereka merambat, lalu mereka mencium aroma anugerah yang wangi.

Mereka memandang dunia dengan mata perenungan, memadang akhirat dengan mata penantian, memandang nafsunya dengan mata hina, memandang taatnya dengan mata penuh kekurangan, bukan dengan mata merasa amal.

Mereka memandang ampunan dengan mata kebutuhan, memandang ma’rifat dengan mata kegembiraan, memandang Yang Di ma’rifati Allah Swt, dengan mata kebanggan. Mereka melemparkan nafsunya dalam negeri cobaan, dan melemparkan ruhnya ke negeri akhirat kemudian, qalbu-qalbu mereka menuju keluhuran dan kharisma, lisan mereka sumber puja dan pujian, ruh mereka adalah tempat-tempat rindu dan cinta, sedangkan nafsu mereka dikendalikan oleh akal dan kecerdasan.

Hasrat mereka lebih banyak untuk kontemplasi dan tafakkur. Ucapan terbanyak mereka adalah memuja dan memujiNya. Amal mereka adalah taat dan khidmah. Pandangan mereka hanya kelembutan dibalik ciptaan Rabbul Izzah Swt.

Diantara mereka anda lihat pucat menguning wajahnya karena rasa takut pisah denganNya, sendi-sendinya gemetar karena Kharisma KebesaranNya. Begitu panjang mereka menunggu penuh rindu bertemu denganNya. Mereka menempuh Jalan Al-Musthafa. Mereka lempar dunia ke belakang tengkuknya. Mereka rasakan kesenangan nafsu sebagai konsumsi kehampaan. Mereka lebih berteguh pada pijak telapak keserasian yang benar.

Perilaku pecinta pada Tuannya.

Perilakunya di dunia selalu asing. Qalbunya di dadanya merasa gersang. Rahasia batinya dalam nafsunya juga terasing. Sang pecinta tak pernah istirahat dari kegundahan keterasingan dan kegentarannya, sepanjang ia belum sampai pada Sang Kekasih. Perkaranya aneh. Sedang Allah Swt adalah penyembuhnya. Ucapannya senantiasa penuh dengan limpahan ekstase, qalbunya menyendiri, akalnya serba Allah Swt (Rabbani), hasratnya serba bergantung padaNya (Shomadani), hidupnya ruhani, amalnya Nuraniyah, dan ucapannya serba langit (samawiyah).

Allah Swt, jadikan hatinya tempat rahasiaNya, tempat pandanganNya, lalu diriasnya dengan keelokan hiasan RububiyahNya, dan dimasukkan ke negeri aturan dari kekuasaanNya.

Ia berputar mengitari keagunganNya dengan nurani qalbunya, dan membubung tinggi ke Taman SuciNya, lalu terbang dengan sayap-sayap ma’rifat menuju kemah-kemah rahasiaNya, berjalan ke meda-medan qudratNya, menembus hijab JabarutNya.

Seandainya orang bodoh melihatnya, ia mati seketika, setelah mengenalnya ketika itu. Tandanya, bencana dunia baginya adalah madu. Kegelisahan adalah buah ranum indah, ketika di akhirat setiap orang berkata: Oh nasibku…duhai nasibku! Sedangkan

ia malah berkata: Rabbi…Rabbi..! Engkaulah hasrat kehendakku…hasrat citaku…!

Sang arif punya empat tanda:

• Cintanya kepada sang Maha Agung

• Meninggalkan apapun yang banyak maupun yang sedikit,

• Mengikuti jejak At-Tanzil (Qur’an dan Sunnah)

• Ketakutannya jika ia harus berpindah dari Tuhannya.

Sang hamba punya bagian. Sang penakut punya rasa ingin lari. Sang pecinta punya asmara. Sang arif punya kegirangan.

Sumber:

Menjelang Ma'rifat - Syeikh Ahmad ar-Rifa'y